Sabtu, 24 Oktober 2009

Salam Alumni SMEA Negeri Pekalongan

SEKADAR MAMPIR



Tadi pagi saya ada rencana ke Batang. Yang akan saya tuju adalah Primkoveri. Di situ saya harus menyelesaikan tunggakan hutang saya yang sudah jatuh tempo. Ini BPKB yang jadi agunannya, dan saya sudah berhutang dua juta rupiah. Sudah enam bulan berjalan, tiap bulan saya rutin bayar bunganya tok tiga koma lima persen. Jadi, hari ini sudah waktunya saya tutup hutang saya. Namun situasi belum memungkinkan. Saya berencana mengajukan perpanjangan waktu untuk enam bulan ke depan (ini sudah perpanjangan ke tiga lho !).

Saya pun mbolos kerja. Tidak masuk dinas. Habis mau gimana lagi wong kantornya tutup jam tiga sore, sementara kalau saya pulang ngajar biasanya sudah jam satu. Badan tinggal capeknya, perut keroncalan gak ketulungan, belum lagi ngantuknya…..haaaaah, huarip tenan…... Alhasil, penyelesaian hutang di Primkoveri biasanya cuma di mimpi doang. Jaraknya kan lumayan jauh kalau dari rumah saya di Kedungwuni. Pernah sekali saya amati spedometer kendaraan saya, ternyata melahap dua puluh lima kilometer. Itu berangkat. Kalau pergi pulang, total kan lima puluh. Di situ rumusnya.

Nah, pagi itu saya seperti biasa naik motor pelan-pelan banget. Surat-surat komplit, jadi saya tidak perlu blingsatan takut kena razia. Pelaaaaan sekali. Arloji baru menunjuk pukul sembilan pagi. Mendadak di perempatan Ponolawen semua kendaraan dari selatan dibelokkan ke kiri alias masuk wilayah Mataram. Ah repot, muter-muter nantinya, begitu pikir saya. Saya pun berbelok ke kanan, masuk gang perkampungan Podosugih. Menerobos terus di gang-gang kecil, jebol di samping kantor Polantas. Saya masuk Jendsud. Terus ke timur ke arah Batang, e…..di sekitar Medono ada rambu TIDAK BOLEH MELINTAS. Ada perbaikan jalan. Begitu tulisan di bawahnya. Lantas ke mana saya mesti melaju ?. apa harus muter ke tempat semula dan muter-muter lewat Mataram ?. kepalang basah sudah terlalu ke timur, akhirnya saya belok kiri masuk gang perkampungan. Tujuannya biar tembus di hadapan raja Hayam Wuruk (itu lho jalanan depan Toko sepatu Jogja).

Mendadak saya ingat ; ini kan gang rumahnya Bu Kapti ?. Kenapa mesti nyelonong saja. Mumpung lewat situ mampir ah. Begitu pikiran saya. Belum jauh masuk gang, saya hentikan motor, saya menanya pada seseorang. Kelaminnya wanita (jelas dong wong dianya pakai daster). Umurnya kira-kira empat puluh tahunan. Ramah sekali dia, dan dianya tahu di mana gerangan rumah Bu Kapti. Tak banyak obrol, akhirnya saya mohon permisi mencari rumah Bu Kapti yang ciri-cirinya sudah saya kantongi.

Tidak jauh dari situ saya temukan juga rumahnya. Saya langsung masuk pekarangan rumah yang di kelilingi pagar besi. Rumahnya adem. Bangunannya terbilang tempo dulu. Bersih tak ada sampah tercecer padahal kiri kanan ada perdu yang menaung. Seorang bapak-bapak sedang duduk-duduk di teras. Sendirian betul dia (beliau). Pasti ini garwane Bu Kapti, saya membatin. “Nuwun sewu, apa benar ini rumahnya Bu Kapti ?” permisi saya. “O iya betul, monggo masuk”. Bapak tadi mempersilahkan saya masuk. Lha beliaunya langsung masuk ke dalam. Pasti memanggil orang yang saya cari. Duduk dua menitan, terdengar dari dalam ada suara ehem ehem. Suaranya jelas milik Bu Kapti.

“Hoalaaaah, anak lanang……dari mana saja ?”, sapa beliau dengan senyum lebar. Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kalimat Bu Kapti yang merasa kaget dengan kehadiran saya ini jadi : Waduuuuuh, anak laki-laki……. Janggal memang. Dan, tidak semua basa-basi jawa bisa ditimpakan begitu saja ke bahasa Indonesia. Di situlah uniknya bahasa lokal. “Sedang apa Bu ?”, sapa saya sembari mencium tangan yang bersalaman dengan tangan saya ini. Ada bau ketumbar. “Kok pakai dicium segala, bau apa hayo ?’ seloroh Bu Kapti. Tak etis kalau saya jujur bahwa kedua tangan beliau bau ketumbar. Saya diam saja dan saya duduk kembali setelah nyonya rumah mempersilahkan duduk. “Maaf lho, ibu dari dapur, jadi ya bau ketumbar”, kata beliau. Saya cuma tersenyum, tersenyum penuh bangga dan haru.

Pembicaraan pun mulai mengalir. Makin lama makin deras. Yang jadi bahan obrolan tentu seputar kenangan jaman beliau masih mengajar saya di SMEA Negeri Pekalongan. Beliau memang satu diantara sekian guru idola saya. “Wah, saya bangga lho Bu bisa berkesempatan ngelmu di jurusan administrasinya SMEA, apalagi diwulang ibu yang cerewet. Tapi semua itu kini berguna bagi saya, apalagi saya ……..”. panjaaaaang sekali obrolannya, sampai lupa kalau saya belum disuguhi teh. “Masih lama ndak ? kalau masih tak buatkan minum ya”, tawar Bu Kapti. “Waduh ngrepoti Bu, matur nuwun saja, saya mau melanjutkan perjalanan ke Batang”. Saya pun pamit setelah lima belas menit ngobrol. Tak lupa saya mintakan tolong pada menantu beliau yang sedang santai dengan bayinya untuk memotret saya dan Bu Kapti sekadar kenang-kenangan. Dan….pret jepret…jadilah dua foto terrekam dalam handphone saya. Sewaktu di teras (dan ini kebiasaan tetamu lain di mana juga), adaaaa saja obrolan yang mesti disambung. Alhasil, ada lima menitan saya ngobrol di teras dengan beliau sebelum saya benar-benar pamit, menstater motor saya.



Bu Kapti, nama lengkapnya Sukapti. Di usianya yang ke 67, masih tampak segar. Wajahnya bening, lebih bening ketimbang masih mengajar saya di SMEA dulu. Maklumlah, begitu pensiun di tahun 2004 (sembilan tahun setelah saya lulus), beliau seolah-olah terkurangi sebagian kewajiban hidupnya, lagi pula beliau juga berhaji bareng suami tercintanya. Sang suami yang dulu kalapas di Wamena Papua juga sudah pensiun. Dua sejoli pensiun ditemani anak cucu rasanya sangat bahagia. Dan itu yang saya tangkap dari wajah beliau. Apalagi kok sudah kesampaian memanjatkan doa-doa di Mekah, ah…rasanya total sudah kebahagiaan itu.

Kenangan pada beliau tentu saja kenangan saat dua tahun penuh saya diajar beliau di SMEA. Saya mulai diajar beliau di kelas dua untuk mata pelajaran ketatausahaan dan kearsipan. Itu dasar. Lanjutannya ada di kelas tiga. Gaya mengajarnya santai tapi telitiiii sekali. Hampir semua hal yang bersangkut erat dengan teknis administrasi yang sekarang saya hadapi di tempat tugas, pernah beliau berikan di masa itu. Banyak juga hal-hal keadministrasian yang saya dapat dari beliau saya tularkan untuk pembenahan administrasi baik di kedinasan saya maupun di organisasi tempat saya mengabdi (maklumlah, jabatan saya melulu di sekretariiiiis terus). Kalau mau dirinci, aduuuuh….terlampau banyak ilmu yang sekarang saya pakai. Dan saya katakan pada beliau, “Saya bangga jadi alumni SMEA, terlebih jurusan administrasi, dan lebih khusus lagi karena gurunya adalah panjenengan”.

Bu Sukapti ini boleh juga dikatakan pendirinya SMEA Negeri Pekalongan bareng Pak Mudjito, Pak Abubakar, dan Pak Bu yang lainnya, yang di tahun 1965 merintis SMEA persiapan sebagai cikal bakal SMEA Negeri yang kini ada di jalan Perintis (dulu asalnya di Jalan Salak). Saya lalu merenung, menghubung-hubungkan sebab akibat (istilahnya Pak Welas Waluyo itu kausa prima), mengapa beliau kalau mengajar anak didik selalu disiplin super ketat, teliti memeriksa kata demi kata yang disusun anak didiknya jika disuruh membuat surat, niteni anak-anak yang kebiasaannya begini begitu kalau mengerjakan tugas, itu semua karena beliau sayang pada SMEA dan selalu ingin melahirkan alumni-alumninya yang bisa berguna di masyarakat. Ilmunya bisa ditularkan di tempat kerjanya. Mengapa ? karena beliau merasa ikut mendirikan lembaga itu. Rasa sayangnya itu kan jadi mbalung sungsum.

Bu Kapti, dalam sisa masa tuanya ini, saya lihat ada sorot mata keikhlasan telah melahirkan banyak tenaga-tenaga handal di bidang keadministrasian meskipun ini bukan pekerjaan beliau saja, namun toh diakui bahwa beliau banyak diperbincangkan anak didiknya yang telah berstatus alumni ketika reuni. Hanya saja, beliau tadi bilang, “Enak jadi guru-guru jaman sekarang ada sertifikasi, padahal….”. Ya, padahal guru-guru jaman dulu lebih berat dalam menjaga kualitas dengan topangan gaji yang minim. Jadi, apa perlu kiranya menunggu saya jadi Menteri Keuangan supaya pensiunan guru-guru juga saya sertifikasikan ?. Semoga sehat Bu….nuwun.

Kedungwuni, 23 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar