Minggu, 11 Oktober 2009

Jaman SMA


Saya sangat bersyukur diberi kesempatan oleh keadaan untuk bisa menempuh pendidikan di SMEA Negeri Pekalongan. Sekolah ini letaknya di Jalan Perintis Kemerdekaan atau dari Stasiun Pekalongan ke arah utara. Tahun itu sekolah ini termasuk sekolah yang difavoritkan, setara STM Joetex (disebelahnya, dg pendidikan 4 th) dan SMA 1 di Jalan Kartini. Waktu saya masuk ke situ, banyak pendaftar yg ikut bersaing memperebutkan jatah kursi yang ada. Saya ingat, yang duduk di sebelah saya waktu ujian penyaringan masuk sekolah itu adalah anak seorang Tionghoa di Kota Kecamatan Kandangserang. Itu Juli 1992. Setelah pengumuman keluar, saya senang sekali karena saya lolos menjadi siswa di situ. Ratusan pendaftar lainnya mesti kecewa karena NEM-nya tidak nyandhak. Memang, waktu itu anak-anak lulus SMP masih mengantongi NEM sebagai bekal ke sekolah selanjutnya. NEM saya waktu itu 40 koma sekian. Nilai sebesar itu masih berpeluang masuk di SMA 1, namun agak bersaing kalau masuk STM Joetex. Saya sejak awal memang ingin sekolah di kota. Saya orang desa, wong ndeso, yang agak jarang ke Pekalongan kota. Kalau pun ke Pekalongan kota ya karena lewatan mau ke Jakarta doang. Jalan-jalan ke Pekalongan kota paling-paling lihat pesisir Boom alias Pasir Kencana (Kencana-nya ngelayap entah ke mana, yang tertinggal giliran pasirnya tok !). Sri Ratu masih satu lantai, Matahari belum ada, Mega Center, Borobudur Mall belum lahir, paliiiing banter ke Pekalongan ya mau nonton film bioskop. Tapi kenapa harus jauh-jauh, di Kedungwuni tempat saya saja ada dua yaitu Cakra dan Semar teathre. Jadi, banyak alasan kalau saya jarang ke Pekalongan kota.
Waktu masuk SMEA Negeri, saya ambil jurusan Perkantoran (istilahnya Ketatausahaan = mendidik calon-calon pegawai kelas rendahan setara tenaga TU di sekolah atau di kantor). Ada empat jurusan di situ. Kalau pingin jadi ahli hitung dagang ya masuk akuntansi, kalau pingin ahli berniaga ya masuk manajemen perdagangan, dan kalau mau jadi “pahlawan ekonomi kerakyatan” bisa masuk jurusan manajemen Koperasi. Jelas-jelas pilihan saya ke jurusan itu karena saya ingin sekali jadi orang yang kerjanya di belakang meja. Masalah gajinya seberapa belum kepikiran waktu itu. Pokoknya senang saja kalau bisa kerja di dalam ruangan, duduk di belakang meja, menghadap mesin ketik, dan berpakaian rapi sepanjang kerja. Ini maunya.
Waktu jaman sekolah itu, saya punya teman yang akrab dan baik hati pula (sering memberi pinjaman uang di saat kepepet). Namanya Sugeng raharjo. Dia sebangku dengan saya di kelas satu. Super pendiam dan kulitnya putih. Maklumlah, dia anak Bandar yang hawanya dingin. Dia ini in de kost di kawasan Kramatsari III. Kamarnya di atas. Saya sering mampir di situ terutama kalau mau jumatan karena jarak Pekalongan-Kedungwuni dengan moda transportasi colt umum tidak memberi saya kesempatan yang cukup untuk berjumatan di desa saya, maka di Masjid kramatsari-lah saya sering berjumatan. Sugeng ini sekamar dengan Kasnap. Kasnap ini anak Joetex dari Pemalang. Ada pula Iwan yang juga anak Joetex dari Pemalang, dan satu lagi saya lupa.
Biasanya sehabis jumatan kami ngumpul di teras atas sambil menikmati pecel dan kolak hasil dagangan ibu kost-nya Sugeng yang ramah. Sering pula saya main ke kost-kostan dia ini malam-malam sekadar tanya-tanya tugas PR (masih jauh dari yang namanya jaman HP atau SMS). Nah, ketika Sri Ratu terbakar dulu itu, malam harinya saya baru saja main di tempat kost-nya Sugeng ini. Saya melewati Jalan Merdeka (samping Sri Ratu) kira-kira pukul sepuluh malam. Pekalongan sudah agak sepi (hoooooo….kendaraan bermotor belum seriuh sekarang, anak sekolah masih sangat jarang ke sekolah pakai motor). Paginya, Sri ratu sudah dilumuri air oleh serombongan damkar alias pemadam kebakaran alias blangwir !. malamnya saya baru lewat situ bareng teman SMP saya yang bernama Sugito, anak Wonoyoso Gg. V. Sri Ratu masih mengepulkan asap dibarengi api kecil pada pagi jam tujuhan saat itu. Hari itu saya masih ingat, saya ada pelajaran mengetik. Yang mengajar Pak Kusni. Kami (rombongan sama teman-teman) pamit mau nonton kebakaran, dan Pak Kusni mempersilahkan. Sempat terceletuk juga dari entah siapa saya lupa dengan celetukan begini, “karang wong ndeso, ono kobongan yo ditonton”. Celetukan ngawur memang karena di sekitar Sri Ratu memang banyak orang menonton pemadaman kebakaran. Lha mereka ini apa kaum urban dadakan ? kan bukan ! pasti mereka orang sekitar Sri Ratu yang juga terhibur dengan “tontonan” gratis !.
Tahun 1995 saya lulus dengan nilai Ebtanas yang cukupan. Dua mapel yang di Ebtanas-kan dapat nilai 15 koma sekian. Waktu itu belum jamannya orang les atau ada LKS segala macam. Modal untuk nilai sebesar itu ya cuma belajar total. Manual sekali, tanpa suplemen atau instanisasi apa-apa. Waktu kelas satu, saya dipercaya jadi wakil ketua kelas. Di kelas dua saya dipercaya jadi sekretaris (kenyataannya sering jadi pengganti tangan guru untuk menulis catatan di blabag hitam dengan media kapur). Waktu kelas tiga saya dipercaya sebagai ketua kelas dan berhasil mengukir sejarah menjadi ranking satu. Ini sempat membuat anak-anak yang lain agak sinis dan menganggap saya bahwa raihan prestasi itu tak lain tak bukan karena wali kelasnya (Pak Burhan) adalah tetangga saya. Celakanya lagi, ada beberapa anak yang komplain karena nilai rapotnya dalam penjumlahan akhir mengalami error entry !. akhirnya raport ditarik kembali dan diadakan perhitungan ulang. Syukur Alkhamdulillah, saya masih duduk manis di kursi ranking teratas. Padahal ini murni perjuangan. Tapi apalah daya, orang Jawa bilang Lawang Tali Kawat, Nggari Nyawang Ora Kuat.
Itu sekadar catatan ringan mengenai jaman saya sekolah dulu. Guru-guru saya yang masih teringat oleh saya diantaranya Bu Ratmi dan Pak Kusni (guru mengetik), Pak Tri Mantata (Guru Teknologi Perkantoran dan Manajemen Kepegewaian), Bu Yuli (guru stenografi), Pak Mudjito (Guru Bisnis lanjutan) Pak Burhan dan Pak Hasan (guru Agama), Pak Ratmo dan Pak haji Ali Mustofa (Guru Bahasa Indonesia), Bu Hardini (guru Bahasa Inggris), Bu Sri Mulyani (guru Dokumen dan Ilmu Perpustakaan), Bu Jumiati (guru Ilmu Koperasi), Pak Hartoyo (guru Sejarah), Pak Sasongko (guru Matematika Dasar), Pak Suwaldi (guru Ilmu Statistik), Bu Retno Wigati (guru Etika Komunikasi Kantor), Bu Sukapti (guru Kearsipan dan Ketatausahaan), Pak Sunarno (guru Bisnis Dasar), Pak Haji Makruf (guru Akuntansi Dasar), Pak Welas Waluyo dan Pak Abu Bakar (guru PMP = sekarang PKn), Bu Nurhayati (guru Ilmu Manajemen), Bu…….(guru Surat Menyurat Indonesia), dan Pak Ris Sutrisno (guru Olahraga). Itu yang saya ingat. Katanya banyak yang sudah pensiun dan ada beberapa yang telah meninggal seperti Pak Mudjito yang meninggal di Madiun, di tanah kelahirannya. Guru lainnya yang tidak mengajar di jurusan Perkantoran ada Pak Mulyo Sudibyo, Bu Satriowati, Pak Jasno, Pak Rudianto, serta Pak dan Bu lainnya. Mereka pernah mengukir jiwa saya. Mereka pernah menyuluhi hidup saya. Mereka pernah meneteskan embun dalam kegersangan otak saya. Dan,…..mereka adalah sebagaian dari pahlawan pada hidup saya. Tuhan, muliakanlah mereka. Jagakanlah keilmuan mereka. Kuatkan juang mereka bagi pencerahan hidup manusia lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar