Sabtu, 31 Oktober 2009

Ayo Memotret

Bulan lalu saya membeli kamera digital seharga tiga juta setengah di Pertokoan Glodok Jakarta, titip sama teman yang mondar-mandir Pekalongan-Jakarta. Dikiranya Pekalongan-Jakarta kok kayak Sragi-Comal saja, tiap minggu pasti PP untuk kulakan apa saja yang bisa dijual, ya laptop, ya HP, ya kamera, ya......VCD porno kadang !. Tapi buat konsumsi pribadi dia, jadi ya nggak apa-apalah wong dia yang nanggung dosanya sendiri.

Nah, ini kamera bisa zoom pakai optik sampai 18X. Resolusinya 8 MP, focal length-nya terhitung memuaskan, lensanya masih di bawah standar Sony (Sony kan pakai Carl Zeiss), namun ya itu, saya pilih dia karena setelah baca referensi sana sini kok terhitung kualitet dengan harga yang murah. Akhirnya saya beli ini. Nanti rencananya pas libur semester, saya sama dua teman guru esde di Paninggaran dan Kedungwuni mau jalan-jalan seminggu menjelajah seantero jagat Pekalongan, mau melanglang dari dusun ke dusun, dari desa ke desa. Buat apa ? cari janda kembang ?.....bukan donk, tapi mau cari tempat-tempat yang mengesankan untuk diperkenalkan pada publik bahwa Pekalongan itu kaya akan kreasi, budaya, seni, hasil alam, dan pesona wisata. kalau sudah terkumpul bahannya, baru masuk penggarapan grafisnya. Kalau sudah semua, rencananya mau dibukukan biar bisa beredar di sekolah-sekolah sebagai buku perpust.

Tentu semingu melanglang Pekalongan dari Petungkriyono sampai Wonokerto itu akan memakan biaya banyak apalagi bertiga, tentu jawabnya iya. Tapi ada sponsor. Orang penting juga beliau ini. Beliau senang dengan anak-anak muda yang kreatif (lho kami ini masih muda, jangan salah itu). Bersambung......

Tambah Mumet , tambah income

Judulnya memang tambah mumet. Tambah mumet kenapa ?. Ini yang mau saya ceritakan sama panjenengan semua. Semester depan itu kuliah saya yang S1 PGSD sudah menginjak semester terakhir. Ada tugas akhir yang mesti saya rampungkan. Sudah kebyang mumetnya kayak apa, e....lha kok teman-teman pada minta belas kasihan sama saya, "Aduh Den Bagus (panggilan untuk saya ya gitu itu), mbok saya ditolongi ikut dibuatkan tugas akhir dan serombongannya.....tolong ya Den, kasihan saya to, saya kan......". Masih panjang bujuk rayunya. saya jadi melongo lagi.
Lha wong merampungkan kerjaan diri saja masih belum kejuntrung restingnya, lha ini kok ketambahan wadya bala pengais belas kasih. Kalau dihitung, hmmmmm......satu....sebelas.....dua lima....eeeeee.....lha kok membuncit di penghitungan lima dua ! blaik tenan iki. (bersambung)

Sabtu, 24 Oktober 2009

Almamaterku, Kebangganku Sepanjang Hayat

SMK Negeri 2 Pekalongan
(Ex. SMEA Negeri Pekalongan)



Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Pekalongan didirikan tahun 1967 dengan nama SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) Persiapan Negeri, menempati gedung CHTH milik yayasan asing (Tionghoa) di Jalan Salak No. 22-24. Jurusan yang dibuka adalah Tata Perusahaan dan Tata Buku. Tahun 1969 ujian menginduk di SMEA Negeri Pemalang. Selama tiga tahun pelajaran dipimpin oleh Bapak Soeprapto, BA sebagai Kepala Sekolah.

Melalui surat keputusan No. 58/UKK.3/1970 tanggal 15 Mei 1970 ditetapkan menjadi SMEA Negeri Pekalongan dengan NSS : 341036402001. Jurusan yang dibuka adalah Tata Buku, Tata Usaha, dan Tata Niaga. Kepala Sekolah tahun 1970 - 1971 adalah Bapak Pamoedji, BA sedangkan tahun 1971 - 1986 Bapak Drs. Soedarjono.

Pada tahun 1981 SMEA Negeri Pekalongan menempati gedung baru di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 29 dengan membuka jurusan Tata Buku, Tata Usaha, Tata Niaga, dan Koperasi.

Berdasarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 41007/A.A5/OT/1997 tanggal 3 April 1997 perihal tindak Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 034.035 dan 036/O/1997 tentang perubahan nomenklatur. Perubahan nomenklatur sekolah dari SMEA Negeri Pekalongan menjadi SMK Negeri Pekalongan. Sampai dengan tahun pelajaran 2006/2007 program keahlian yang dibuka adalah :

Akuntansi
Administrasi Perkantoran
Manajemen Bisnis
Teknik Komputer dan Jaringan

Salam Alumni SMEA Negeri Pekalongan

SEKADAR MAMPIR



Tadi pagi saya ada rencana ke Batang. Yang akan saya tuju adalah Primkoveri. Di situ saya harus menyelesaikan tunggakan hutang saya yang sudah jatuh tempo. Ini BPKB yang jadi agunannya, dan saya sudah berhutang dua juta rupiah. Sudah enam bulan berjalan, tiap bulan saya rutin bayar bunganya tok tiga koma lima persen. Jadi, hari ini sudah waktunya saya tutup hutang saya. Namun situasi belum memungkinkan. Saya berencana mengajukan perpanjangan waktu untuk enam bulan ke depan (ini sudah perpanjangan ke tiga lho !).

Saya pun mbolos kerja. Tidak masuk dinas. Habis mau gimana lagi wong kantornya tutup jam tiga sore, sementara kalau saya pulang ngajar biasanya sudah jam satu. Badan tinggal capeknya, perut keroncalan gak ketulungan, belum lagi ngantuknya…..haaaaah, huarip tenan…... Alhasil, penyelesaian hutang di Primkoveri biasanya cuma di mimpi doang. Jaraknya kan lumayan jauh kalau dari rumah saya di Kedungwuni. Pernah sekali saya amati spedometer kendaraan saya, ternyata melahap dua puluh lima kilometer. Itu berangkat. Kalau pergi pulang, total kan lima puluh. Di situ rumusnya.

Nah, pagi itu saya seperti biasa naik motor pelan-pelan banget. Surat-surat komplit, jadi saya tidak perlu blingsatan takut kena razia. Pelaaaaan sekali. Arloji baru menunjuk pukul sembilan pagi. Mendadak di perempatan Ponolawen semua kendaraan dari selatan dibelokkan ke kiri alias masuk wilayah Mataram. Ah repot, muter-muter nantinya, begitu pikir saya. Saya pun berbelok ke kanan, masuk gang perkampungan Podosugih. Menerobos terus di gang-gang kecil, jebol di samping kantor Polantas. Saya masuk Jendsud. Terus ke timur ke arah Batang, e…..di sekitar Medono ada rambu TIDAK BOLEH MELINTAS. Ada perbaikan jalan. Begitu tulisan di bawahnya. Lantas ke mana saya mesti melaju ?. apa harus muter ke tempat semula dan muter-muter lewat Mataram ?. kepalang basah sudah terlalu ke timur, akhirnya saya belok kiri masuk gang perkampungan. Tujuannya biar tembus di hadapan raja Hayam Wuruk (itu lho jalanan depan Toko sepatu Jogja).

Mendadak saya ingat ; ini kan gang rumahnya Bu Kapti ?. Kenapa mesti nyelonong saja. Mumpung lewat situ mampir ah. Begitu pikiran saya. Belum jauh masuk gang, saya hentikan motor, saya menanya pada seseorang. Kelaminnya wanita (jelas dong wong dianya pakai daster). Umurnya kira-kira empat puluh tahunan. Ramah sekali dia, dan dianya tahu di mana gerangan rumah Bu Kapti. Tak banyak obrol, akhirnya saya mohon permisi mencari rumah Bu Kapti yang ciri-cirinya sudah saya kantongi.

Tidak jauh dari situ saya temukan juga rumahnya. Saya langsung masuk pekarangan rumah yang di kelilingi pagar besi. Rumahnya adem. Bangunannya terbilang tempo dulu. Bersih tak ada sampah tercecer padahal kiri kanan ada perdu yang menaung. Seorang bapak-bapak sedang duduk-duduk di teras. Sendirian betul dia (beliau). Pasti ini garwane Bu Kapti, saya membatin. “Nuwun sewu, apa benar ini rumahnya Bu Kapti ?” permisi saya. “O iya betul, monggo masuk”. Bapak tadi mempersilahkan saya masuk. Lha beliaunya langsung masuk ke dalam. Pasti memanggil orang yang saya cari. Duduk dua menitan, terdengar dari dalam ada suara ehem ehem. Suaranya jelas milik Bu Kapti.

“Hoalaaaah, anak lanang……dari mana saja ?”, sapa beliau dengan senyum lebar. Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kalimat Bu Kapti yang merasa kaget dengan kehadiran saya ini jadi : Waduuuuuh, anak laki-laki……. Janggal memang. Dan, tidak semua basa-basi jawa bisa ditimpakan begitu saja ke bahasa Indonesia. Di situlah uniknya bahasa lokal. “Sedang apa Bu ?”, sapa saya sembari mencium tangan yang bersalaman dengan tangan saya ini. Ada bau ketumbar. “Kok pakai dicium segala, bau apa hayo ?’ seloroh Bu Kapti. Tak etis kalau saya jujur bahwa kedua tangan beliau bau ketumbar. Saya diam saja dan saya duduk kembali setelah nyonya rumah mempersilahkan duduk. “Maaf lho, ibu dari dapur, jadi ya bau ketumbar”, kata beliau. Saya cuma tersenyum, tersenyum penuh bangga dan haru.

Pembicaraan pun mulai mengalir. Makin lama makin deras. Yang jadi bahan obrolan tentu seputar kenangan jaman beliau masih mengajar saya di SMEA Negeri Pekalongan. Beliau memang satu diantara sekian guru idola saya. “Wah, saya bangga lho Bu bisa berkesempatan ngelmu di jurusan administrasinya SMEA, apalagi diwulang ibu yang cerewet. Tapi semua itu kini berguna bagi saya, apalagi saya ……..”. panjaaaaang sekali obrolannya, sampai lupa kalau saya belum disuguhi teh. “Masih lama ndak ? kalau masih tak buatkan minum ya”, tawar Bu Kapti. “Waduh ngrepoti Bu, matur nuwun saja, saya mau melanjutkan perjalanan ke Batang”. Saya pun pamit setelah lima belas menit ngobrol. Tak lupa saya mintakan tolong pada menantu beliau yang sedang santai dengan bayinya untuk memotret saya dan Bu Kapti sekadar kenang-kenangan. Dan….pret jepret…jadilah dua foto terrekam dalam handphone saya. Sewaktu di teras (dan ini kebiasaan tetamu lain di mana juga), adaaaa saja obrolan yang mesti disambung. Alhasil, ada lima menitan saya ngobrol di teras dengan beliau sebelum saya benar-benar pamit, menstater motor saya.



Bu Kapti, nama lengkapnya Sukapti. Di usianya yang ke 67, masih tampak segar. Wajahnya bening, lebih bening ketimbang masih mengajar saya di SMEA dulu. Maklumlah, begitu pensiun di tahun 2004 (sembilan tahun setelah saya lulus), beliau seolah-olah terkurangi sebagian kewajiban hidupnya, lagi pula beliau juga berhaji bareng suami tercintanya. Sang suami yang dulu kalapas di Wamena Papua juga sudah pensiun. Dua sejoli pensiun ditemani anak cucu rasanya sangat bahagia. Dan itu yang saya tangkap dari wajah beliau. Apalagi kok sudah kesampaian memanjatkan doa-doa di Mekah, ah…rasanya total sudah kebahagiaan itu.

Kenangan pada beliau tentu saja kenangan saat dua tahun penuh saya diajar beliau di SMEA. Saya mulai diajar beliau di kelas dua untuk mata pelajaran ketatausahaan dan kearsipan. Itu dasar. Lanjutannya ada di kelas tiga. Gaya mengajarnya santai tapi telitiiii sekali. Hampir semua hal yang bersangkut erat dengan teknis administrasi yang sekarang saya hadapi di tempat tugas, pernah beliau berikan di masa itu. Banyak juga hal-hal keadministrasian yang saya dapat dari beliau saya tularkan untuk pembenahan administrasi baik di kedinasan saya maupun di organisasi tempat saya mengabdi (maklumlah, jabatan saya melulu di sekretariiiiis terus). Kalau mau dirinci, aduuuuh….terlampau banyak ilmu yang sekarang saya pakai. Dan saya katakan pada beliau, “Saya bangga jadi alumni SMEA, terlebih jurusan administrasi, dan lebih khusus lagi karena gurunya adalah panjenengan”.

Bu Sukapti ini boleh juga dikatakan pendirinya SMEA Negeri Pekalongan bareng Pak Mudjito, Pak Abubakar, dan Pak Bu yang lainnya, yang di tahun 1965 merintis SMEA persiapan sebagai cikal bakal SMEA Negeri yang kini ada di jalan Perintis (dulu asalnya di Jalan Salak). Saya lalu merenung, menghubung-hubungkan sebab akibat (istilahnya Pak Welas Waluyo itu kausa prima), mengapa beliau kalau mengajar anak didik selalu disiplin super ketat, teliti memeriksa kata demi kata yang disusun anak didiknya jika disuruh membuat surat, niteni anak-anak yang kebiasaannya begini begitu kalau mengerjakan tugas, itu semua karena beliau sayang pada SMEA dan selalu ingin melahirkan alumni-alumninya yang bisa berguna di masyarakat. Ilmunya bisa ditularkan di tempat kerjanya. Mengapa ? karena beliau merasa ikut mendirikan lembaga itu. Rasa sayangnya itu kan jadi mbalung sungsum.

Bu Kapti, dalam sisa masa tuanya ini, saya lihat ada sorot mata keikhlasan telah melahirkan banyak tenaga-tenaga handal di bidang keadministrasian meskipun ini bukan pekerjaan beliau saja, namun toh diakui bahwa beliau banyak diperbincangkan anak didiknya yang telah berstatus alumni ketika reuni. Hanya saja, beliau tadi bilang, “Enak jadi guru-guru jaman sekarang ada sertifikasi, padahal….”. Ya, padahal guru-guru jaman dulu lebih berat dalam menjaga kualitas dengan topangan gaji yang minim. Jadi, apa perlu kiranya menunggu saya jadi Menteri Keuangan supaya pensiunan guru-guru juga saya sertifikasikan ?. Semoga sehat Bu….nuwun.

Kedungwuni, 23 Oktober 2009

Minggu, 11 Oktober 2009

Jaman SMA


Saya sangat bersyukur diberi kesempatan oleh keadaan untuk bisa menempuh pendidikan di SMEA Negeri Pekalongan. Sekolah ini letaknya di Jalan Perintis Kemerdekaan atau dari Stasiun Pekalongan ke arah utara. Tahun itu sekolah ini termasuk sekolah yang difavoritkan, setara STM Joetex (disebelahnya, dg pendidikan 4 th) dan SMA 1 di Jalan Kartini. Waktu saya masuk ke situ, banyak pendaftar yg ikut bersaing memperebutkan jatah kursi yang ada. Saya ingat, yang duduk di sebelah saya waktu ujian penyaringan masuk sekolah itu adalah anak seorang Tionghoa di Kota Kecamatan Kandangserang. Itu Juli 1992. Setelah pengumuman keluar, saya senang sekali karena saya lolos menjadi siswa di situ. Ratusan pendaftar lainnya mesti kecewa karena NEM-nya tidak nyandhak. Memang, waktu itu anak-anak lulus SMP masih mengantongi NEM sebagai bekal ke sekolah selanjutnya. NEM saya waktu itu 40 koma sekian. Nilai sebesar itu masih berpeluang masuk di SMA 1, namun agak bersaing kalau masuk STM Joetex. Saya sejak awal memang ingin sekolah di kota. Saya orang desa, wong ndeso, yang agak jarang ke Pekalongan kota. Kalau pun ke Pekalongan kota ya karena lewatan mau ke Jakarta doang. Jalan-jalan ke Pekalongan kota paling-paling lihat pesisir Boom alias Pasir Kencana (Kencana-nya ngelayap entah ke mana, yang tertinggal giliran pasirnya tok !). Sri Ratu masih satu lantai, Matahari belum ada, Mega Center, Borobudur Mall belum lahir, paliiiing banter ke Pekalongan ya mau nonton film bioskop. Tapi kenapa harus jauh-jauh, di Kedungwuni tempat saya saja ada dua yaitu Cakra dan Semar teathre. Jadi, banyak alasan kalau saya jarang ke Pekalongan kota.
Waktu masuk SMEA Negeri, saya ambil jurusan Perkantoran (istilahnya Ketatausahaan = mendidik calon-calon pegawai kelas rendahan setara tenaga TU di sekolah atau di kantor). Ada empat jurusan di situ. Kalau pingin jadi ahli hitung dagang ya masuk akuntansi, kalau pingin ahli berniaga ya masuk manajemen perdagangan, dan kalau mau jadi “pahlawan ekonomi kerakyatan” bisa masuk jurusan manajemen Koperasi. Jelas-jelas pilihan saya ke jurusan itu karena saya ingin sekali jadi orang yang kerjanya di belakang meja. Masalah gajinya seberapa belum kepikiran waktu itu. Pokoknya senang saja kalau bisa kerja di dalam ruangan, duduk di belakang meja, menghadap mesin ketik, dan berpakaian rapi sepanjang kerja. Ini maunya.
Waktu jaman sekolah itu, saya punya teman yang akrab dan baik hati pula (sering memberi pinjaman uang di saat kepepet). Namanya Sugeng raharjo. Dia sebangku dengan saya di kelas satu. Super pendiam dan kulitnya putih. Maklumlah, dia anak Bandar yang hawanya dingin. Dia ini in de kost di kawasan Kramatsari III. Kamarnya di atas. Saya sering mampir di situ terutama kalau mau jumatan karena jarak Pekalongan-Kedungwuni dengan moda transportasi colt umum tidak memberi saya kesempatan yang cukup untuk berjumatan di desa saya, maka di Masjid kramatsari-lah saya sering berjumatan. Sugeng ini sekamar dengan Kasnap. Kasnap ini anak Joetex dari Pemalang. Ada pula Iwan yang juga anak Joetex dari Pemalang, dan satu lagi saya lupa.
Biasanya sehabis jumatan kami ngumpul di teras atas sambil menikmati pecel dan kolak hasil dagangan ibu kost-nya Sugeng yang ramah. Sering pula saya main ke kost-kostan dia ini malam-malam sekadar tanya-tanya tugas PR (masih jauh dari yang namanya jaman HP atau SMS). Nah, ketika Sri Ratu terbakar dulu itu, malam harinya saya baru saja main di tempat kost-nya Sugeng ini. Saya melewati Jalan Merdeka (samping Sri Ratu) kira-kira pukul sepuluh malam. Pekalongan sudah agak sepi (hoooooo….kendaraan bermotor belum seriuh sekarang, anak sekolah masih sangat jarang ke sekolah pakai motor). Paginya, Sri ratu sudah dilumuri air oleh serombongan damkar alias pemadam kebakaran alias blangwir !. malamnya saya baru lewat situ bareng teman SMP saya yang bernama Sugito, anak Wonoyoso Gg. V. Sri Ratu masih mengepulkan asap dibarengi api kecil pada pagi jam tujuhan saat itu. Hari itu saya masih ingat, saya ada pelajaran mengetik. Yang mengajar Pak Kusni. Kami (rombongan sama teman-teman) pamit mau nonton kebakaran, dan Pak Kusni mempersilahkan. Sempat terceletuk juga dari entah siapa saya lupa dengan celetukan begini, “karang wong ndeso, ono kobongan yo ditonton”. Celetukan ngawur memang karena di sekitar Sri Ratu memang banyak orang menonton pemadaman kebakaran. Lha mereka ini apa kaum urban dadakan ? kan bukan ! pasti mereka orang sekitar Sri Ratu yang juga terhibur dengan “tontonan” gratis !.
Tahun 1995 saya lulus dengan nilai Ebtanas yang cukupan. Dua mapel yang di Ebtanas-kan dapat nilai 15 koma sekian. Waktu itu belum jamannya orang les atau ada LKS segala macam. Modal untuk nilai sebesar itu ya cuma belajar total. Manual sekali, tanpa suplemen atau instanisasi apa-apa. Waktu kelas satu, saya dipercaya jadi wakil ketua kelas. Di kelas dua saya dipercaya jadi sekretaris (kenyataannya sering jadi pengganti tangan guru untuk menulis catatan di blabag hitam dengan media kapur). Waktu kelas tiga saya dipercaya sebagai ketua kelas dan berhasil mengukir sejarah menjadi ranking satu. Ini sempat membuat anak-anak yang lain agak sinis dan menganggap saya bahwa raihan prestasi itu tak lain tak bukan karena wali kelasnya (Pak Burhan) adalah tetangga saya. Celakanya lagi, ada beberapa anak yang komplain karena nilai rapotnya dalam penjumlahan akhir mengalami error entry !. akhirnya raport ditarik kembali dan diadakan perhitungan ulang. Syukur Alkhamdulillah, saya masih duduk manis di kursi ranking teratas. Padahal ini murni perjuangan. Tapi apalah daya, orang Jawa bilang Lawang Tali Kawat, Nggari Nyawang Ora Kuat.
Itu sekadar catatan ringan mengenai jaman saya sekolah dulu. Guru-guru saya yang masih teringat oleh saya diantaranya Bu Ratmi dan Pak Kusni (guru mengetik), Pak Tri Mantata (Guru Teknologi Perkantoran dan Manajemen Kepegewaian), Bu Yuli (guru stenografi), Pak Mudjito (Guru Bisnis lanjutan) Pak Burhan dan Pak Hasan (guru Agama), Pak Ratmo dan Pak haji Ali Mustofa (Guru Bahasa Indonesia), Bu Hardini (guru Bahasa Inggris), Bu Sri Mulyani (guru Dokumen dan Ilmu Perpustakaan), Bu Jumiati (guru Ilmu Koperasi), Pak Hartoyo (guru Sejarah), Pak Sasongko (guru Matematika Dasar), Pak Suwaldi (guru Ilmu Statistik), Bu Retno Wigati (guru Etika Komunikasi Kantor), Bu Sukapti (guru Kearsipan dan Ketatausahaan), Pak Sunarno (guru Bisnis Dasar), Pak Haji Makruf (guru Akuntansi Dasar), Pak Welas Waluyo dan Pak Abu Bakar (guru PMP = sekarang PKn), Bu Nurhayati (guru Ilmu Manajemen), Bu…….(guru Surat Menyurat Indonesia), dan Pak Ris Sutrisno (guru Olahraga). Itu yang saya ingat. Katanya banyak yang sudah pensiun dan ada beberapa yang telah meninggal seperti Pak Mudjito yang meninggal di Madiun, di tanah kelahirannya. Guru lainnya yang tidak mengajar di jurusan Perkantoran ada Pak Mulyo Sudibyo, Bu Satriowati, Pak Jasno, Pak Rudianto, serta Pak dan Bu lainnya. Mereka pernah mengukir jiwa saya. Mereka pernah menyuluhi hidup saya. Mereka pernah meneteskan embun dalam kegersangan otak saya. Dan,…..mereka adalah sebagaian dari pahlawan pada hidup saya. Tuhan, muliakanlah mereka. Jagakanlah keilmuan mereka. Kuatkan juang mereka bagi pencerahan hidup manusia lainnya.

Motor Hasil Kerja

Motore adik saya yg kuliah D3 Komputer di Jkt
Hasil garapan Mata kuliah PBM (Dosennya Pak Isa)
Hasil garapan KTI (dosennya Bu Endah)



Batik

Bulan puasa kemarin saya beli dua kain batik dari tetangga. Dia ini memang satu dari dua orang di kampung saya yang masih menekuni usaha rumah tangga pembatikan. Dua helai kain batik canting (batik tulis tangan) itu saya bayar 400.000. Apa istimewanya sehingga saya tidak membelikan uang sejumlah itu dengan batik cap atau sablon yang mungkin akan dapat delapan helain kain ?. Ada pertimbangannya tentu. Pertama, saya suka corak batik canting yang orisinil, tidak ada kembarannya (meskipun dibuat semirip apa pun juga) karena garapan tangan. Kedua tentu karena motifnya bisa saya tentukan sendiri. Ketiga, sudah jarang yang memakai sehingga menimbulkan kesan "menyendiri (Jawa : Ndewe'i). Keempat, ingin melestarikan motif Pekalongan yang sudah jarang dikenal orang kecuali sisa-sisa ibu-ibu pembatikan yang masih setia itu. Kelima, menjaga status karena siapa yang masih memakai batik canting di kampung, akan dianggap orang yang duitnya lumayan berlebih. Tapi yang terakhir ini mohon tidak dibaca saja.
Dua kain batik berbentuk jarik itu saya hadiahkan pada ibunda tersayang. Motifnya saya pilihkan JAMBLANG dan OPAK-OPAKAN. Ini khas Pekalongan bagian selatan (Kedungwuni-Buaran-Wonopringgo) disamping motif tIGANEGERI, KLASEM, dsb. Proses kedua helai batik tadi, mulai membuat pola sampai jadi, memerlukan waktu dua bulan !. Itu dengan catatan bahwa si pembatik masih nyambi masak atau kegiatan lain. Mungkin kalau full membuat jarik tok ya sekitar tiga minggulah. Lantas apa uang 400 ribu itu sepadan ? Jelas tidak. kain mori yang dipakai kan biasanya yang Primis. Ini mahal harganya. Belum lagi malam/lilin batiknya terus naik harganya. kalau cat tidak jadi masalah karena kedua motif tadi memang anti cat. Keduanya berwarna coklat yang cukup dengan wedelan dan popokan. Belum lagi kayu yang dipakai buat perapian wajan lilin, harganya kan tidak murah meskipun tidak seberapa pemakaiannya toh tetap saja keluar uang buat cari kayu bakar. Belum lagi tenaga, de-el-el-nya.....pokoknya minim sekali kalau si pembatik mendapat cuma 400 rb. Namun biasanya, lha ini repotnya manajemen orang Jawa kelas kampung, mereka tidak mengkalkulasi biaya tenaga penggarapan. Tenaga itu dianggap sebagai "tinimbang nganggur alias daripada mlongo sinambi mlompong". Maka, ketika si pembatik datang menghaturkan dua helai kain tersebut, saya berusaha untuk tidak nganyang (menawar). Kasihan dia, saya cuma minta diskon !.........

Minggu, 04 Oktober 2009

Ruang kerja saya

Ini ruang kerja saya yang sangat sederhana. Maklumlah, guru esde golongan dua yang gaptek. Bagaimanapun juga, ini adalah ruang favorit saya di banding ruang lain di dalam rumah saya. Di sinilah saya mengerjakan segala tugas kedinasan. Di sini pula saya kerjakan tugas-tugas perkuliahan. Di sini jugalah saya selesaikan urusan administrasi keorganisasian. Ada satu set komputer yang saya beli dari rapelan gaji pertama saya sebagai PNS. Ada radio tape yang biasa menemani sepi saya saat malam harus nglembur. Ada teve juga (ndak kelihatan ya) yang biasa saya tonton beritanya sambil tak tik tak tik di atas keyboard. Inilah ruang yang paling saya banggakan. Di sini semuanya berjalan. Inilah jantung rumah saya. Kalau saya sedang mood menulis artikel atau sekadar cerita pendek hasil jepretan otak sehari atau beberapa hari sebelumnya, saya biasanya menambahkan bumbu-bumbunya dari buku-buku perpustakaan pribadi yang menjadi koleksi saya. Lemari perpustnya ada dua, persis di belakang saya duduk. Kalau kemenakan-kemenakan saya yang dari jakarta pada mudik, mereka juga asyik beraktivitas di ruang ini. saya bangga bisa memiliki ini semua.

Curug Genting


Curug Genting itu adanya di Blado, masuk Kabupaten Batang. Sekitar 35 km ke selatan dari Kota Batang. Tempatnya sunyi, kalau ndak hari Minggu ya jangan harap ada ketemu sama orang bertandang. biasanya yang ke sana abg2 atau kawula muda yang pingin melepas lelah (kata kawan saya, "melepas hasrat juga....").
Saya sendiri sudah ke sana hampir 10X. Waterfallnya masih asli, areanya sangat basah, gerojogan airnya sangat dingin menusuk tulang. Jalur ke sana dihiasi hutan pinus. Tempatnya memang tersembunyi, makanya kalau ke sana baiknya bawa teman lebih dari satu, buat jaga-jaga. Kalau mau camping juga bisa. Ada area lapang di mulut area waterfallnya. Pokoknya kalau ke sana bawa tikar sambil tiduran, dijamin bisa pulas beneran. Adem sekali memang. Ke sana yuk......!