Minggu, 11 Oktober 2009

Batik

Bulan puasa kemarin saya beli dua kain batik dari tetangga. Dia ini memang satu dari dua orang di kampung saya yang masih menekuni usaha rumah tangga pembatikan. Dua helai kain batik canting (batik tulis tangan) itu saya bayar 400.000. Apa istimewanya sehingga saya tidak membelikan uang sejumlah itu dengan batik cap atau sablon yang mungkin akan dapat delapan helain kain ?. Ada pertimbangannya tentu. Pertama, saya suka corak batik canting yang orisinil, tidak ada kembarannya (meskipun dibuat semirip apa pun juga) karena garapan tangan. Kedua tentu karena motifnya bisa saya tentukan sendiri. Ketiga, sudah jarang yang memakai sehingga menimbulkan kesan "menyendiri (Jawa : Ndewe'i). Keempat, ingin melestarikan motif Pekalongan yang sudah jarang dikenal orang kecuali sisa-sisa ibu-ibu pembatikan yang masih setia itu. Kelima, menjaga status karena siapa yang masih memakai batik canting di kampung, akan dianggap orang yang duitnya lumayan berlebih. Tapi yang terakhir ini mohon tidak dibaca saja.
Dua kain batik berbentuk jarik itu saya hadiahkan pada ibunda tersayang. Motifnya saya pilihkan JAMBLANG dan OPAK-OPAKAN. Ini khas Pekalongan bagian selatan (Kedungwuni-Buaran-Wonopringgo) disamping motif tIGANEGERI, KLASEM, dsb. Proses kedua helai batik tadi, mulai membuat pola sampai jadi, memerlukan waktu dua bulan !. Itu dengan catatan bahwa si pembatik masih nyambi masak atau kegiatan lain. Mungkin kalau full membuat jarik tok ya sekitar tiga minggulah. Lantas apa uang 400 ribu itu sepadan ? Jelas tidak. kain mori yang dipakai kan biasanya yang Primis. Ini mahal harganya. Belum lagi malam/lilin batiknya terus naik harganya. kalau cat tidak jadi masalah karena kedua motif tadi memang anti cat. Keduanya berwarna coklat yang cukup dengan wedelan dan popokan. Belum lagi kayu yang dipakai buat perapian wajan lilin, harganya kan tidak murah meskipun tidak seberapa pemakaiannya toh tetap saja keluar uang buat cari kayu bakar. Belum lagi tenaga, de-el-el-nya.....pokoknya minim sekali kalau si pembatik mendapat cuma 400 rb. Namun biasanya, lha ini repotnya manajemen orang Jawa kelas kampung, mereka tidak mengkalkulasi biaya tenaga penggarapan. Tenaga itu dianggap sebagai "tinimbang nganggur alias daripada mlongo sinambi mlompong". Maka, ketika si pembatik datang menghaturkan dua helai kain tersebut, saya berusaha untuk tidak nganyang (menawar). Kasihan dia, saya cuma minta diskon !.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar