Sabtu, 28 November 2009

Di Arena Konferda PGRI

Rangkaian Foto Konferda PGRI kabupaten Pekalongan di Pendopo Rumah Dinas Bupati Pekalongan di Kajen tanggal 21 Nopember 2009 lalu. Berbagai agenda dibahas.....(bersambung)















Sabtu, 31 Oktober 2009

Ayo Memotret

Bulan lalu saya membeli kamera digital seharga tiga juta setengah di Pertokoan Glodok Jakarta, titip sama teman yang mondar-mandir Pekalongan-Jakarta. Dikiranya Pekalongan-Jakarta kok kayak Sragi-Comal saja, tiap minggu pasti PP untuk kulakan apa saja yang bisa dijual, ya laptop, ya HP, ya kamera, ya......VCD porno kadang !. Tapi buat konsumsi pribadi dia, jadi ya nggak apa-apalah wong dia yang nanggung dosanya sendiri.

Nah, ini kamera bisa zoom pakai optik sampai 18X. Resolusinya 8 MP, focal length-nya terhitung memuaskan, lensanya masih di bawah standar Sony (Sony kan pakai Carl Zeiss), namun ya itu, saya pilih dia karena setelah baca referensi sana sini kok terhitung kualitet dengan harga yang murah. Akhirnya saya beli ini. Nanti rencananya pas libur semester, saya sama dua teman guru esde di Paninggaran dan Kedungwuni mau jalan-jalan seminggu menjelajah seantero jagat Pekalongan, mau melanglang dari dusun ke dusun, dari desa ke desa. Buat apa ? cari janda kembang ?.....bukan donk, tapi mau cari tempat-tempat yang mengesankan untuk diperkenalkan pada publik bahwa Pekalongan itu kaya akan kreasi, budaya, seni, hasil alam, dan pesona wisata. kalau sudah terkumpul bahannya, baru masuk penggarapan grafisnya. Kalau sudah semua, rencananya mau dibukukan biar bisa beredar di sekolah-sekolah sebagai buku perpust.

Tentu semingu melanglang Pekalongan dari Petungkriyono sampai Wonokerto itu akan memakan biaya banyak apalagi bertiga, tentu jawabnya iya. Tapi ada sponsor. Orang penting juga beliau ini. Beliau senang dengan anak-anak muda yang kreatif (lho kami ini masih muda, jangan salah itu). Bersambung......

Tambah Mumet , tambah income

Judulnya memang tambah mumet. Tambah mumet kenapa ?. Ini yang mau saya ceritakan sama panjenengan semua. Semester depan itu kuliah saya yang S1 PGSD sudah menginjak semester terakhir. Ada tugas akhir yang mesti saya rampungkan. Sudah kebyang mumetnya kayak apa, e....lha kok teman-teman pada minta belas kasihan sama saya, "Aduh Den Bagus (panggilan untuk saya ya gitu itu), mbok saya ditolongi ikut dibuatkan tugas akhir dan serombongannya.....tolong ya Den, kasihan saya to, saya kan......". Masih panjang bujuk rayunya. saya jadi melongo lagi.
Lha wong merampungkan kerjaan diri saja masih belum kejuntrung restingnya, lha ini kok ketambahan wadya bala pengais belas kasih. Kalau dihitung, hmmmmm......satu....sebelas.....dua lima....eeeeee.....lha kok membuncit di penghitungan lima dua ! blaik tenan iki. (bersambung)

Sabtu, 24 Oktober 2009

Almamaterku, Kebangganku Sepanjang Hayat

SMK Negeri 2 Pekalongan
(Ex. SMEA Negeri Pekalongan)



Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Pekalongan didirikan tahun 1967 dengan nama SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) Persiapan Negeri, menempati gedung CHTH milik yayasan asing (Tionghoa) di Jalan Salak No. 22-24. Jurusan yang dibuka adalah Tata Perusahaan dan Tata Buku. Tahun 1969 ujian menginduk di SMEA Negeri Pemalang. Selama tiga tahun pelajaran dipimpin oleh Bapak Soeprapto, BA sebagai Kepala Sekolah.

Melalui surat keputusan No. 58/UKK.3/1970 tanggal 15 Mei 1970 ditetapkan menjadi SMEA Negeri Pekalongan dengan NSS : 341036402001. Jurusan yang dibuka adalah Tata Buku, Tata Usaha, dan Tata Niaga. Kepala Sekolah tahun 1970 - 1971 adalah Bapak Pamoedji, BA sedangkan tahun 1971 - 1986 Bapak Drs. Soedarjono.

Pada tahun 1981 SMEA Negeri Pekalongan menempati gedung baru di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 29 dengan membuka jurusan Tata Buku, Tata Usaha, Tata Niaga, dan Koperasi.

Berdasarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 41007/A.A5/OT/1997 tanggal 3 April 1997 perihal tindak Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 034.035 dan 036/O/1997 tentang perubahan nomenklatur. Perubahan nomenklatur sekolah dari SMEA Negeri Pekalongan menjadi SMK Negeri Pekalongan. Sampai dengan tahun pelajaran 2006/2007 program keahlian yang dibuka adalah :

Akuntansi
Administrasi Perkantoran
Manajemen Bisnis
Teknik Komputer dan Jaringan

Salam Alumni SMEA Negeri Pekalongan

SEKADAR MAMPIR



Tadi pagi saya ada rencana ke Batang. Yang akan saya tuju adalah Primkoveri. Di situ saya harus menyelesaikan tunggakan hutang saya yang sudah jatuh tempo. Ini BPKB yang jadi agunannya, dan saya sudah berhutang dua juta rupiah. Sudah enam bulan berjalan, tiap bulan saya rutin bayar bunganya tok tiga koma lima persen. Jadi, hari ini sudah waktunya saya tutup hutang saya. Namun situasi belum memungkinkan. Saya berencana mengajukan perpanjangan waktu untuk enam bulan ke depan (ini sudah perpanjangan ke tiga lho !).

Saya pun mbolos kerja. Tidak masuk dinas. Habis mau gimana lagi wong kantornya tutup jam tiga sore, sementara kalau saya pulang ngajar biasanya sudah jam satu. Badan tinggal capeknya, perut keroncalan gak ketulungan, belum lagi ngantuknya…..haaaaah, huarip tenan…... Alhasil, penyelesaian hutang di Primkoveri biasanya cuma di mimpi doang. Jaraknya kan lumayan jauh kalau dari rumah saya di Kedungwuni. Pernah sekali saya amati spedometer kendaraan saya, ternyata melahap dua puluh lima kilometer. Itu berangkat. Kalau pergi pulang, total kan lima puluh. Di situ rumusnya.

Nah, pagi itu saya seperti biasa naik motor pelan-pelan banget. Surat-surat komplit, jadi saya tidak perlu blingsatan takut kena razia. Pelaaaaan sekali. Arloji baru menunjuk pukul sembilan pagi. Mendadak di perempatan Ponolawen semua kendaraan dari selatan dibelokkan ke kiri alias masuk wilayah Mataram. Ah repot, muter-muter nantinya, begitu pikir saya. Saya pun berbelok ke kanan, masuk gang perkampungan Podosugih. Menerobos terus di gang-gang kecil, jebol di samping kantor Polantas. Saya masuk Jendsud. Terus ke timur ke arah Batang, e…..di sekitar Medono ada rambu TIDAK BOLEH MELINTAS. Ada perbaikan jalan. Begitu tulisan di bawahnya. Lantas ke mana saya mesti melaju ?. apa harus muter ke tempat semula dan muter-muter lewat Mataram ?. kepalang basah sudah terlalu ke timur, akhirnya saya belok kiri masuk gang perkampungan. Tujuannya biar tembus di hadapan raja Hayam Wuruk (itu lho jalanan depan Toko sepatu Jogja).

Mendadak saya ingat ; ini kan gang rumahnya Bu Kapti ?. Kenapa mesti nyelonong saja. Mumpung lewat situ mampir ah. Begitu pikiran saya. Belum jauh masuk gang, saya hentikan motor, saya menanya pada seseorang. Kelaminnya wanita (jelas dong wong dianya pakai daster). Umurnya kira-kira empat puluh tahunan. Ramah sekali dia, dan dianya tahu di mana gerangan rumah Bu Kapti. Tak banyak obrol, akhirnya saya mohon permisi mencari rumah Bu Kapti yang ciri-cirinya sudah saya kantongi.

Tidak jauh dari situ saya temukan juga rumahnya. Saya langsung masuk pekarangan rumah yang di kelilingi pagar besi. Rumahnya adem. Bangunannya terbilang tempo dulu. Bersih tak ada sampah tercecer padahal kiri kanan ada perdu yang menaung. Seorang bapak-bapak sedang duduk-duduk di teras. Sendirian betul dia (beliau). Pasti ini garwane Bu Kapti, saya membatin. “Nuwun sewu, apa benar ini rumahnya Bu Kapti ?” permisi saya. “O iya betul, monggo masuk”. Bapak tadi mempersilahkan saya masuk. Lha beliaunya langsung masuk ke dalam. Pasti memanggil orang yang saya cari. Duduk dua menitan, terdengar dari dalam ada suara ehem ehem. Suaranya jelas milik Bu Kapti.

“Hoalaaaah, anak lanang……dari mana saja ?”, sapa beliau dengan senyum lebar. Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kalimat Bu Kapti yang merasa kaget dengan kehadiran saya ini jadi : Waduuuuuh, anak laki-laki……. Janggal memang. Dan, tidak semua basa-basi jawa bisa ditimpakan begitu saja ke bahasa Indonesia. Di situlah uniknya bahasa lokal. “Sedang apa Bu ?”, sapa saya sembari mencium tangan yang bersalaman dengan tangan saya ini. Ada bau ketumbar. “Kok pakai dicium segala, bau apa hayo ?’ seloroh Bu Kapti. Tak etis kalau saya jujur bahwa kedua tangan beliau bau ketumbar. Saya diam saja dan saya duduk kembali setelah nyonya rumah mempersilahkan duduk. “Maaf lho, ibu dari dapur, jadi ya bau ketumbar”, kata beliau. Saya cuma tersenyum, tersenyum penuh bangga dan haru.

Pembicaraan pun mulai mengalir. Makin lama makin deras. Yang jadi bahan obrolan tentu seputar kenangan jaman beliau masih mengajar saya di SMEA Negeri Pekalongan. Beliau memang satu diantara sekian guru idola saya. “Wah, saya bangga lho Bu bisa berkesempatan ngelmu di jurusan administrasinya SMEA, apalagi diwulang ibu yang cerewet. Tapi semua itu kini berguna bagi saya, apalagi saya ……..”. panjaaaaang sekali obrolannya, sampai lupa kalau saya belum disuguhi teh. “Masih lama ndak ? kalau masih tak buatkan minum ya”, tawar Bu Kapti. “Waduh ngrepoti Bu, matur nuwun saja, saya mau melanjutkan perjalanan ke Batang”. Saya pun pamit setelah lima belas menit ngobrol. Tak lupa saya mintakan tolong pada menantu beliau yang sedang santai dengan bayinya untuk memotret saya dan Bu Kapti sekadar kenang-kenangan. Dan….pret jepret…jadilah dua foto terrekam dalam handphone saya. Sewaktu di teras (dan ini kebiasaan tetamu lain di mana juga), adaaaa saja obrolan yang mesti disambung. Alhasil, ada lima menitan saya ngobrol di teras dengan beliau sebelum saya benar-benar pamit, menstater motor saya.



Bu Kapti, nama lengkapnya Sukapti. Di usianya yang ke 67, masih tampak segar. Wajahnya bening, lebih bening ketimbang masih mengajar saya di SMEA dulu. Maklumlah, begitu pensiun di tahun 2004 (sembilan tahun setelah saya lulus), beliau seolah-olah terkurangi sebagian kewajiban hidupnya, lagi pula beliau juga berhaji bareng suami tercintanya. Sang suami yang dulu kalapas di Wamena Papua juga sudah pensiun. Dua sejoli pensiun ditemani anak cucu rasanya sangat bahagia. Dan itu yang saya tangkap dari wajah beliau. Apalagi kok sudah kesampaian memanjatkan doa-doa di Mekah, ah…rasanya total sudah kebahagiaan itu.

Kenangan pada beliau tentu saja kenangan saat dua tahun penuh saya diajar beliau di SMEA. Saya mulai diajar beliau di kelas dua untuk mata pelajaran ketatausahaan dan kearsipan. Itu dasar. Lanjutannya ada di kelas tiga. Gaya mengajarnya santai tapi telitiiii sekali. Hampir semua hal yang bersangkut erat dengan teknis administrasi yang sekarang saya hadapi di tempat tugas, pernah beliau berikan di masa itu. Banyak juga hal-hal keadministrasian yang saya dapat dari beliau saya tularkan untuk pembenahan administrasi baik di kedinasan saya maupun di organisasi tempat saya mengabdi (maklumlah, jabatan saya melulu di sekretariiiiis terus). Kalau mau dirinci, aduuuuh….terlampau banyak ilmu yang sekarang saya pakai. Dan saya katakan pada beliau, “Saya bangga jadi alumni SMEA, terlebih jurusan administrasi, dan lebih khusus lagi karena gurunya adalah panjenengan”.

Bu Sukapti ini boleh juga dikatakan pendirinya SMEA Negeri Pekalongan bareng Pak Mudjito, Pak Abubakar, dan Pak Bu yang lainnya, yang di tahun 1965 merintis SMEA persiapan sebagai cikal bakal SMEA Negeri yang kini ada di jalan Perintis (dulu asalnya di Jalan Salak). Saya lalu merenung, menghubung-hubungkan sebab akibat (istilahnya Pak Welas Waluyo itu kausa prima), mengapa beliau kalau mengajar anak didik selalu disiplin super ketat, teliti memeriksa kata demi kata yang disusun anak didiknya jika disuruh membuat surat, niteni anak-anak yang kebiasaannya begini begitu kalau mengerjakan tugas, itu semua karena beliau sayang pada SMEA dan selalu ingin melahirkan alumni-alumninya yang bisa berguna di masyarakat. Ilmunya bisa ditularkan di tempat kerjanya. Mengapa ? karena beliau merasa ikut mendirikan lembaga itu. Rasa sayangnya itu kan jadi mbalung sungsum.

Bu Kapti, dalam sisa masa tuanya ini, saya lihat ada sorot mata keikhlasan telah melahirkan banyak tenaga-tenaga handal di bidang keadministrasian meskipun ini bukan pekerjaan beliau saja, namun toh diakui bahwa beliau banyak diperbincangkan anak didiknya yang telah berstatus alumni ketika reuni. Hanya saja, beliau tadi bilang, “Enak jadi guru-guru jaman sekarang ada sertifikasi, padahal….”. Ya, padahal guru-guru jaman dulu lebih berat dalam menjaga kualitas dengan topangan gaji yang minim. Jadi, apa perlu kiranya menunggu saya jadi Menteri Keuangan supaya pensiunan guru-guru juga saya sertifikasikan ?. Semoga sehat Bu….nuwun.

Kedungwuni, 23 Oktober 2009

Minggu, 11 Oktober 2009

Jaman SMA


Saya sangat bersyukur diberi kesempatan oleh keadaan untuk bisa menempuh pendidikan di SMEA Negeri Pekalongan. Sekolah ini letaknya di Jalan Perintis Kemerdekaan atau dari Stasiun Pekalongan ke arah utara. Tahun itu sekolah ini termasuk sekolah yang difavoritkan, setara STM Joetex (disebelahnya, dg pendidikan 4 th) dan SMA 1 di Jalan Kartini. Waktu saya masuk ke situ, banyak pendaftar yg ikut bersaing memperebutkan jatah kursi yang ada. Saya ingat, yang duduk di sebelah saya waktu ujian penyaringan masuk sekolah itu adalah anak seorang Tionghoa di Kota Kecamatan Kandangserang. Itu Juli 1992. Setelah pengumuman keluar, saya senang sekali karena saya lolos menjadi siswa di situ. Ratusan pendaftar lainnya mesti kecewa karena NEM-nya tidak nyandhak. Memang, waktu itu anak-anak lulus SMP masih mengantongi NEM sebagai bekal ke sekolah selanjutnya. NEM saya waktu itu 40 koma sekian. Nilai sebesar itu masih berpeluang masuk di SMA 1, namun agak bersaing kalau masuk STM Joetex. Saya sejak awal memang ingin sekolah di kota. Saya orang desa, wong ndeso, yang agak jarang ke Pekalongan kota. Kalau pun ke Pekalongan kota ya karena lewatan mau ke Jakarta doang. Jalan-jalan ke Pekalongan kota paling-paling lihat pesisir Boom alias Pasir Kencana (Kencana-nya ngelayap entah ke mana, yang tertinggal giliran pasirnya tok !). Sri Ratu masih satu lantai, Matahari belum ada, Mega Center, Borobudur Mall belum lahir, paliiiing banter ke Pekalongan ya mau nonton film bioskop. Tapi kenapa harus jauh-jauh, di Kedungwuni tempat saya saja ada dua yaitu Cakra dan Semar teathre. Jadi, banyak alasan kalau saya jarang ke Pekalongan kota.
Waktu masuk SMEA Negeri, saya ambil jurusan Perkantoran (istilahnya Ketatausahaan = mendidik calon-calon pegawai kelas rendahan setara tenaga TU di sekolah atau di kantor). Ada empat jurusan di situ. Kalau pingin jadi ahli hitung dagang ya masuk akuntansi, kalau pingin ahli berniaga ya masuk manajemen perdagangan, dan kalau mau jadi “pahlawan ekonomi kerakyatan” bisa masuk jurusan manajemen Koperasi. Jelas-jelas pilihan saya ke jurusan itu karena saya ingin sekali jadi orang yang kerjanya di belakang meja. Masalah gajinya seberapa belum kepikiran waktu itu. Pokoknya senang saja kalau bisa kerja di dalam ruangan, duduk di belakang meja, menghadap mesin ketik, dan berpakaian rapi sepanjang kerja. Ini maunya.
Waktu jaman sekolah itu, saya punya teman yang akrab dan baik hati pula (sering memberi pinjaman uang di saat kepepet). Namanya Sugeng raharjo. Dia sebangku dengan saya di kelas satu. Super pendiam dan kulitnya putih. Maklumlah, dia anak Bandar yang hawanya dingin. Dia ini in de kost di kawasan Kramatsari III. Kamarnya di atas. Saya sering mampir di situ terutama kalau mau jumatan karena jarak Pekalongan-Kedungwuni dengan moda transportasi colt umum tidak memberi saya kesempatan yang cukup untuk berjumatan di desa saya, maka di Masjid kramatsari-lah saya sering berjumatan. Sugeng ini sekamar dengan Kasnap. Kasnap ini anak Joetex dari Pemalang. Ada pula Iwan yang juga anak Joetex dari Pemalang, dan satu lagi saya lupa.
Biasanya sehabis jumatan kami ngumpul di teras atas sambil menikmati pecel dan kolak hasil dagangan ibu kost-nya Sugeng yang ramah. Sering pula saya main ke kost-kostan dia ini malam-malam sekadar tanya-tanya tugas PR (masih jauh dari yang namanya jaman HP atau SMS). Nah, ketika Sri Ratu terbakar dulu itu, malam harinya saya baru saja main di tempat kost-nya Sugeng ini. Saya melewati Jalan Merdeka (samping Sri Ratu) kira-kira pukul sepuluh malam. Pekalongan sudah agak sepi (hoooooo….kendaraan bermotor belum seriuh sekarang, anak sekolah masih sangat jarang ke sekolah pakai motor). Paginya, Sri ratu sudah dilumuri air oleh serombongan damkar alias pemadam kebakaran alias blangwir !. malamnya saya baru lewat situ bareng teman SMP saya yang bernama Sugito, anak Wonoyoso Gg. V. Sri Ratu masih mengepulkan asap dibarengi api kecil pada pagi jam tujuhan saat itu. Hari itu saya masih ingat, saya ada pelajaran mengetik. Yang mengajar Pak Kusni. Kami (rombongan sama teman-teman) pamit mau nonton kebakaran, dan Pak Kusni mempersilahkan. Sempat terceletuk juga dari entah siapa saya lupa dengan celetukan begini, “karang wong ndeso, ono kobongan yo ditonton”. Celetukan ngawur memang karena di sekitar Sri Ratu memang banyak orang menonton pemadaman kebakaran. Lha mereka ini apa kaum urban dadakan ? kan bukan ! pasti mereka orang sekitar Sri Ratu yang juga terhibur dengan “tontonan” gratis !.
Tahun 1995 saya lulus dengan nilai Ebtanas yang cukupan. Dua mapel yang di Ebtanas-kan dapat nilai 15 koma sekian. Waktu itu belum jamannya orang les atau ada LKS segala macam. Modal untuk nilai sebesar itu ya cuma belajar total. Manual sekali, tanpa suplemen atau instanisasi apa-apa. Waktu kelas satu, saya dipercaya jadi wakil ketua kelas. Di kelas dua saya dipercaya jadi sekretaris (kenyataannya sering jadi pengganti tangan guru untuk menulis catatan di blabag hitam dengan media kapur). Waktu kelas tiga saya dipercaya sebagai ketua kelas dan berhasil mengukir sejarah menjadi ranking satu. Ini sempat membuat anak-anak yang lain agak sinis dan menganggap saya bahwa raihan prestasi itu tak lain tak bukan karena wali kelasnya (Pak Burhan) adalah tetangga saya. Celakanya lagi, ada beberapa anak yang komplain karena nilai rapotnya dalam penjumlahan akhir mengalami error entry !. akhirnya raport ditarik kembali dan diadakan perhitungan ulang. Syukur Alkhamdulillah, saya masih duduk manis di kursi ranking teratas. Padahal ini murni perjuangan. Tapi apalah daya, orang Jawa bilang Lawang Tali Kawat, Nggari Nyawang Ora Kuat.
Itu sekadar catatan ringan mengenai jaman saya sekolah dulu. Guru-guru saya yang masih teringat oleh saya diantaranya Bu Ratmi dan Pak Kusni (guru mengetik), Pak Tri Mantata (Guru Teknologi Perkantoran dan Manajemen Kepegewaian), Bu Yuli (guru stenografi), Pak Mudjito (Guru Bisnis lanjutan) Pak Burhan dan Pak Hasan (guru Agama), Pak Ratmo dan Pak haji Ali Mustofa (Guru Bahasa Indonesia), Bu Hardini (guru Bahasa Inggris), Bu Sri Mulyani (guru Dokumen dan Ilmu Perpustakaan), Bu Jumiati (guru Ilmu Koperasi), Pak Hartoyo (guru Sejarah), Pak Sasongko (guru Matematika Dasar), Pak Suwaldi (guru Ilmu Statistik), Bu Retno Wigati (guru Etika Komunikasi Kantor), Bu Sukapti (guru Kearsipan dan Ketatausahaan), Pak Sunarno (guru Bisnis Dasar), Pak Haji Makruf (guru Akuntansi Dasar), Pak Welas Waluyo dan Pak Abu Bakar (guru PMP = sekarang PKn), Bu Nurhayati (guru Ilmu Manajemen), Bu…….(guru Surat Menyurat Indonesia), dan Pak Ris Sutrisno (guru Olahraga). Itu yang saya ingat. Katanya banyak yang sudah pensiun dan ada beberapa yang telah meninggal seperti Pak Mudjito yang meninggal di Madiun, di tanah kelahirannya. Guru lainnya yang tidak mengajar di jurusan Perkantoran ada Pak Mulyo Sudibyo, Bu Satriowati, Pak Jasno, Pak Rudianto, serta Pak dan Bu lainnya. Mereka pernah mengukir jiwa saya. Mereka pernah menyuluhi hidup saya. Mereka pernah meneteskan embun dalam kegersangan otak saya. Dan,…..mereka adalah sebagaian dari pahlawan pada hidup saya. Tuhan, muliakanlah mereka. Jagakanlah keilmuan mereka. Kuatkan juang mereka bagi pencerahan hidup manusia lainnya.

Motor Hasil Kerja

Motore adik saya yg kuliah D3 Komputer di Jkt
Hasil garapan Mata kuliah PBM (Dosennya Pak Isa)
Hasil garapan KTI (dosennya Bu Endah)



Batik

Bulan puasa kemarin saya beli dua kain batik dari tetangga. Dia ini memang satu dari dua orang di kampung saya yang masih menekuni usaha rumah tangga pembatikan. Dua helai kain batik canting (batik tulis tangan) itu saya bayar 400.000. Apa istimewanya sehingga saya tidak membelikan uang sejumlah itu dengan batik cap atau sablon yang mungkin akan dapat delapan helain kain ?. Ada pertimbangannya tentu. Pertama, saya suka corak batik canting yang orisinil, tidak ada kembarannya (meskipun dibuat semirip apa pun juga) karena garapan tangan. Kedua tentu karena motifnya bisa saya tentukan sendiri. Ketiga, sudah jarang yang memakai sehingga menimbulkan kesan "menyendiri (Jawa : Ndewe'i). Keempat, ingin melestarikan motif Pekalongan yang sudah jarang dikenal orang kecuali sisa-sisa ibu-ibu pembatikan yang masih setia itu. Kelima, menjaga status karena siapa yang masih memakai batik canting di kampung, akan dianggap orang yang duitnya lumayan berlebih. Tapi yang terakhir ini mohon tidak dibaca saja.
Dua kain batik berbentuk jarik itu saya hadiahkan pada ibunda tersayang. Motifnya saya pilihkan JAMBLANG dan OPAK-OPAKAN. Ini khas Pekalongan bagian selatan (Kedungwuni-Buaran-Wonopringgo) disamping motif tIGANEGERI, KLASEM, dsb. Proses kedua helai batik tadi, mulai membuat pola sampai jadi, memerlukan waktu dua bulan !. Itu dengan catatan bahwa si pembatik masih nyambi masak atau kegiatan lain. Mungkin kalau full membuat jarik tok ya sekitar tiga minggulah. Lantas apa uang 400 ribu itu sepadan ? Jelas tidak. kain mori yang dipakai kan biasanya yang Primis. Ini mahal harganya. Belum lagi malam/lilin batiknya terus naik harganya. kalau cat tidak jadi masalah karena kedua motif tadi memang anti cat. Keduanya berwarna coklat yang cukup dengan wedelan dan popokan. Belum lagi kayu yang dipakai buat perapian wajan lilin, harganya kan tidak murah meskipun tidak seberapa pemakaiannya toh tetap saja keluar uang buat cari kayu bakar. Belum lagi tenaga, de-el-el-nya.....pokoknya minim sekali kalau si pembatik mendapat cuma 400 rb. Namun biasanya, lha ini repotnya manajemen orang Jawa kelas kampung, mereka tidak mengkalkulasi biaya tenaga penggarapan. Tenaga itu dianggap sebagai "tinimbang nganggur alias daripada mlongo sinambi mlompong". Maka, ketika si pembatik datang menghaturkan dua helai kain tersebut, saya berusaha untuk tidak nganyang (menawar). Kasihan dia, saya cuma minta diskon !.........

Minggu, 04 Oktober 2009

Ruang kerja saya

Ini ruang kerja saya yang sangat sederhana. Maklumlah, guru esde golongan dua yang gaptek. Bagaimanapun juga, ini adalah ruang favorit saya di banding ruang lain di dalam rumah saya. Di sinilah saya mengerjakan segala tugas kedinasan. Di sini pula saya kerjakan tugas-tugas perkuliahan. Di sini jugalah saya selesaikan urusan administrasi keorganisasian. Ada satu set komputer yang saya beli dari rapelan gaji pertama saya sebagai PNS. Ada radio tape yang biasa menemani sepi saya saat malam harus nglembur. Ada teve juga (ndak kelihatan ya) yang biasa saya tonton beritanya sambil tak tik tak tik di atas keyboard. Inilah ruang yang paling saya banggakan. Di sini semuanya berjalan. Inilah jantung rumah saya. Kalau saya sedang mood menulis artikel atau sekadar cerita pendek hasil jepretan otak sehari atau beberapa hari sebelumnya, saya biasanya menambahkan bumbu-bumbunya dari buku-buku perpustakaan pribadi yang menjadi koleksi saya. Lemari perpustnya ada dua, persis di belakang saya duduk. Kalau kemenakan-kemenakan saya yang dari jakarta pada mudik, mereka juga asyik beraktivitas di ruang ini. saya bangga bisa memiliki ini semua.

Curug Genting


Curug Genting itu adanya di Blado, masuk Kabupaten Batang. Sekitar 35 km ke selatan dari Kota Batang. Tempatnya sunyi, kalau ndak hari Minggu ya jangan harap ada ketemu sama orang bertandang. biasanya yang ke sana abg2 atau kawula muda yang pingin melepas lelah (kata kawan saya, "melepas hasrat juga....").
Saya sendiri sudah ke sana hampir 10X. Waterfallnya masih asli, areanya sangat basah, gerojogan airnya sangat dingin menusuk tulang. Jalur ke sana dihiasi hutan pinus. Tempatnya memang tersembunyi, makanya kalau ke sana baiknya bawa teman lebih dari satu, buat jaga-jaga. Kalau mau camping juga bisa. Ada area lapang di mulut area waterfallnya. Pokoknya kalau ke sana bawa tikar sambil tiduran, dijamin bisa pulas beneran. Adem sekali memang. Ke sana yuk......!

Senin, 28 September 2009

Tempat mengais sejumput pahala


Ini adalah potret Mushola Ashshodiq yang tengah direhab tahun kemarin (sekarang sampun purna). Mushola kampung saya, mushola tertua di Desa Karangdowo-Kedungwuni-Pekalongan. Mushola ini ada jauh sebelum ada masjid. Konon pembangunannya berbarengan dengan pembangunan Bendungan Kletak, Jembatan air Plengkung, dan jalur kereta api tebu (raam sepoor) yang melintas desa saya. Dengan merujuk itu semua, saya perkirakan pembangunannya terjadi tahun 1917-1920, mengingat memang di pasasti Bendungan Kletak tertera angka tahun demikian sebagai angka pembangunannya. Jadi, mushola ini sudah tua dan mengalami perombakan sekitar empat kali. Bangunan pertama berbentuk persegi panjang dengan kedudukan lantai di sangga oleh beberapa tiang yang bawahnya bisa dimasuki untuk jalan anak usia 5 tahunan (sekitar 1,5 m di atas permukaan tanah). Entah tahun berapa, mushola ini direhab jadi bangunan permanen dengan empat tanga masuk. Lantainya tak lagi disanga tiang. Lalu sekitar tahun 1990-an kembali direhab. Dan terakhir ini adalah tahun 2008. Antara tahun 1999-2003 saya aktif memimpin gerakan remaja mushola dalam berbagai bidang keagamaan. Motivasi yang mendasari adalah untuk menghidupkan suasana mushola, membantu pengembangan mushola, meramaikan syiar Islam, dan mengajak masuk mengenal secara bersama sistem berorganisasi bagi anak-anak di kampung. Foto ini diambil pakai kamera sony milik Edo yang dijepretkan oleh Mas Tomo. Baik Edo maupun Mas Tomo adalah teman-teman saya di kegiatan P2KP karena mereka adalah faskel-faskel desa saya.

Lebakbarang, area asri yg sering saya kunjungi bertirakatan



Lebakbarang itu sekitar 35 km dari rumah saya. Ke arah selatan, dari kota kecamatan Karanganyar mbablas ke selatan. Akan menemui desa Lolong dengan keindahan sungainya yang berair deras namun jernih, terus ke selatan hingga mencapai liuk-liuk jalan yang dinaungi pepohonan besar menjadikan liuk-liuk jalan tersebut terasa gelap meski baru jam empat sore.


Jalanan ke sana sudah mulus namun sempit. Kelok yang jumlahnya banyak mesti menjadikan kita ekstra waspada biar ndak nubruk angkutan atau otto lain yang kebetulan nongol mendadak di depan hidung. Perjalanan melewati kelok-kelok tersebut gak bakalan bikin lelah kita karena gemericik air baik dari sela-sela bebatuan maupun waterfall kecil-kecil akan berjajar di sepanjang jalan. Jangan heran pula kalau pepohonan di sini, baik dahan maupun rantingnya, acapkali ngelumut karena hawanya yang lembab. Entah berapa nisbi angkanya.


Kalau saya ke Lebakbarang, rasanya sudah plong kalau sudah masuk kota kecamatannya yang sunyi sepi namun deretan rumahnya berjajar rapi dengan aneka bebungaan yang menghiasi jambangan depan rumah. Di jantung kota ada ditemui Monumen Pemerintahan Darurat Pemerintah Kabupaten Pekalongan pada waktu Pekalongan kota diduduki oleh Belanda pada zaman clash (istilahnya jaman Recomba). Monumen itu berbentuk tugu, berdiri tegak seakan-akan menjadi pancang tiang ujung pandangan dari seanteronya Lebakbarang yang dikepung bebukitan.


Dari kota kecamatan yang jarang ditemui warung makan ini, biasanya saya mbablas ke timur, berkelok-kelok sampai bokong rasanya pegal di atas jok, menuju Desa Timbangsari. Di sinilah temank saya semasa kuliah di IKIP PGRI dulu yang bernama Lugiarso bertempat tinggal. Lugiarso ini orangnya baik sekali, pendiam, dan tidak banyak tuntutan. Meski begitu dia juga tidak gaptek. Ayahnya seorang mantan lurah desa tersebut yang tekun bertani (termasuk panili yang jaman Presiden Habibi pernah menembus angka 150 ribu perkilo !). Tidak pernah saya ke rumah dia langsung pulang. Perjalanannya yang jauh mengharuskan saya beristirahat dulu. Malam di Timbangsari amatlah dingin dan super sepi. depan rumah Lugi (pangilan untuk Lugiarso) merupakan hutan pinus yang lebat. Rumah dia sendiri ada di bagian paling atas dibanding rumah warga lainnya. Rumah di pegunungan kan biasanya berundak-undak selayaknya sistem terassiring sawah.

Sering saya bawa rombongan untuk menginap di rumah dia. Sekadar memperkenalkan potensi daerah Pekalongan dan mengagumi alam indah nan eksotik. Pernah pula saya berdelapan melakukan hiking ke Curug Cinde (Air terjun pelangi). Meski jaraknya 4-5 Km namun karena medannya berjalan setapak pada kemiringan 45 derajat (ditambah pula suasananya basah sekali), maka perjalanan demikian menuntut kewaspadaan yang ekstra. Tidak awas sedikit saja bisa tergelincir masuk ke jejurangan yang dipenuhi tanaman liar. Bagaimana pun juga akhirnya saya berdelapan (Lugi sebagai pemandunya) akhirnya bisa sampai di sana. Oh ya, Curug Cinde ini msih jarang di datangi orang. (Bersambung)


Syawalan di Widuri Water Park
















Jumat, 25 September 2009

Foto-Fot terbaruku







Ngantar bekas murid ke Kaliboja (2007)





Ini adalah foto perjalanan saya bareng bekas murid-murid saya ke daerah Kaliboja. Kami berangkat pakai mobil Esspaz milik keponaan saya, yang nyetir Mas Afrid. Berangkatnya menjelang maghrib dan sampai di sana sudah jam tujuh lebih. Kaliboja ada di 40 km jauhnya dari rumah saya. Ikut kecamatan Paninggaran dan berbatasan langsung dengan Kalibening yang sudah masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara. Ada perlu apa saya ke Kaliboja ?
Saya ajak anak-anak saya karena saya ingin memperkenalkan (ini bahasa saya lho) alam Pekalongan selatan yang selalu hijau adem enak untuk dinikmati. Itu pertama. Yang kedua, saya ke sana bersilaturahim ke rumah Mas Kirno Pranoto. Dia ini teman saya jaman KMD di Kajen. KMD ? itu lho, Kursus Mahir Dasar. Mas Kirno Pranoto ini guru di SDN 01 Paninggaran. Nah, rumah Mas Kirno inilah yang saya jadikan tempat transit di malam itu, transit plus bermalam untuk 12 orang.
Malam di situ saya boleh dikatakan menggigil karena hawanya yang dingin. Kaliboja berada di puncak yang boleh dikata tinggi untuk daerah Pekalongan. Saya tidur di kamar sendirian berselimutkan selimut tebal. Anak-anak tidur di ruang tamu beralas karpet.
Pagi harinya saya dan anak-anak diajak jalan-jalan Mas Kirno ke perkebunan teh yang ia usahakan. Orang-orang di situ biasanya menguasahakan perkebunan teh sendiri dan hasil petikan pucuk-pucuknya dijual ke pabrik teh Pagilaran yang ada di Batang. Di Paninggaran juga ada pabrik teh Pagilaran tapi semacam cabang, dan hanya memproses daun teh menjadi bakal teh. Jadi tidak sampai finishing keluar kemasanan teh. Saya juga melihat-lihat kolam ikan yang banyak diusahakan masyarakat setempat. Kebanyakan mereka membudidayakan ikan mas, ikan nila, dan mujair. Saya juga diajak menikmati aliran sungai yang jernih airnya dan ada pancurannya. Tak lupa juga, kami (saya dan anak-anak) berfoto di bawah lambaian bunga Edelwais. Konon, inilah lambang cinta abadi yang sesungguhnya karena bunga ini tiada pernah layu.


Hari itu juga kami jalan-jalan ke pancuran air hangat yang ada di sebelah selatan kota kecil Kalibening. Kami nikmati alam pemandangannya yang eksotik, dan kami cuma duduk-duduk di tepian kalinya, enggan mandi di pancuranya karena kebetulan banyak warga setempat (ibu-ibu dan mbak-mbak pakai kemben) sedang mandi dan cuci baju. Weeeeeeeekkkkkk…… akhirnya kami ke kedai bakso di Kalibening dan segera kembali ke markas untuk kemudian pulang.
Kaliboja sudah saya kenal lewat berita TVRI waktu saya esde dulu karena kepala desanya (Bu Eriyah) meraih penghargaan kalpataru dari Presiden Soeharto (alm) dan berkesempatan diundang oleh UNESCO ke forum PBB tentang lingkungan. Waktu saya pingin bertandang ke rumah Bu Eriyah, Mas Kirno menginformasikan kalau beliau sedang menunaikan ibadah haji dan belum pulang. Beliau ini, masih kata Mas Kirno, dua kali periode menjabat kepala desa karena keberhasilannya itu. Sehabis beliau turun jabatan, kedudukan kepala desa digantikan oleh suaminya yang hanya menjabat satu periode. Setelah suaminya turun kedudukan kepala desa dipegang oleh kemenakan mantan kades tersebut. Ini yang namanya dinasti kades. Namun, keindahan dan ketertiban desa ini sewaktu meraih pennghargaan dari Presiden Soeharto maupun UNESCO, agaknya kini tak berbekas lagi. Jalanan desa tak terawat lagi dan di sana sini saya melihat kesemrawutan tata kelola lingkungan, tak seperti yang saya lihat waktu penayangan di TVRI sekitar 24 tahun lalu tepatnya tahun 1985-an !

Rabu, 23 September 2009

Di depan rumah dinas Bupati Pekalongan

Ini sebagian murid-murid saya di SDN 01 Klunjukan. Mereka ramai-ramai naik truk ke arena Kajen Expo 2009. Ini ceritanya mereka beraksi di halaman rumah dinas Bupati Pekalongan. Ada Tiyo, Dadang, Bowo, Bambang, Widodo, Yanto, dan entah siapa lagi. Saya paling senang kalau bisa melihat murid-murid saya tersenyum tanpa bebn. Anak kecil memang harus bahagia, harus free from depresi, nggak boleh dipaksa-paksa, harus merdeka agar menikmati masa bermainnya. Saya selalu bahagia dengan melihat senyum mereka meskipun kadang mereka menjengkelkan. Tersenyumlah anak-anak ku.........!


Inilah kawasan Lapangan Nggemex di Kedungwuni Pekalongan. Gambar ini saya ambil waktu Pilpres Juli kemarin. Sepi dan lengang. Kontras sekli jika malam minggu, malam jum'at, minggu pagi atau jumat pagi. Pada malam jumat dan malam minggu, beratus pasangan co-ce (kadang jg ada yg pasangan gay, bahkan pernah ada bencong kaleng rombeng ikut meramaikan) datang ke sini sekadar melepas rindu berpeluk dan bercium ria. Tak tertutup kemungkinan melerpas syahwat yang membuncah. Kadang saya lewat, entah dari acara apa, di daerah ini jam sebels atau dua belasan malam. Saya kok risih sekali melihatnya. Pasangan abg-abg itu kok nekat bepngku-pangkunan, berpeluk ria secara atraktif bahkan pernah beberap kali memergoki mereka sedang in action. Padahal, di barat lapangan ada masjid Al Amin (Bangunan YABMP). Anak sekarang memang nekat banget. Saya belum lama melepas masa remaja, tapi keremajaan orang-orang seangkatan saya belum parah sebegitunya. Yang sekarang heboh buangetz, atraktif, bahkan terkesan ada kepuasan kalau atraksinya do tonton atau dipergoki orang lain.
Dulu waktu saya masih esde (dekade 80-an), kawasan ini masih perkebunan tebu. Baru tahun 1985-an are ini dibuka untuk pengembangan infrastruktur publik. Ada SMPN 02 Kedungwuni, ada SDN 08 Kedungwuni, SMAN Kedungwuni, STMN Pekalongan, Masjid Al Amin, dan Kantor Perpusda (kini kantor kelurahan Kdw barat). Area ini, pada jaman saya esempe, masih runggut dengan rerumputan. Masih panas karena pepohonan belum "jadi".
Tahun 1999 ketika saya mulai ngajar di MI 02 Karangdowo (sebgai guru pengabdian di usia 23 tahu), seringkali saya ajak anak-anak kelas enam main kasti di lapangan Nggemex ini. Kiri kanan lapangan masih pa adanya. Foto-foto jaman itu masih ada di lemari. Itu tahun 1999, belum lagi kalau saya memflashback ke tahun 1992-1995 waktu saya mondar mandir dari rumah ke sekolah melewati kawasan itu. Tahun 1992, hampir dari Juli 1992-Juli 1993 tiap pagi saya berjalan kaki menyusuri kawasan yang dinamakan Ngemex-Bebekan. Saya berjalan dari rumah ke Podo sekitar 2 kilo, dari Podo saya menunggu colt angkot yg menghilir ke arah sekolah saya di SMEA Negeri Jalan Perintis Kemerdekaan. Apa kenangan saya waktu itu ? adem, bersih, natural, dan damai.
Pagi jam 06.00 saya melewati kawasan Nggemex pakai seragam abu-abu putih. Tas ransel tersandang di belakang. Sepatu kets warna hitam, rambut rapi, dan jerawat masih mengintip-intip cari tempat mangkal. jalan kaki saya terasa tidak bert meski sendirian sepanjang dua kilo. Di areal Nggemex masih tersisa embun pagi di rerumputan dan sebagian batang-batang tebu yang belum tergusur. Air sungai menghilir jernih, sesekali ketemu rombongan soang (angsa) putih bercengkerama mengajari anak-anaknya menyelam. Kanan kiri sungai penuh tanaman air yang menjuntai. Terbanyak lompong gagang merh dan kangkung rambat. Jernih airnya. Sepanjang jalan Nggemex-Bebekan sampai Podo ada trotoar yang dipagari lekuk-lekuk besi cor dicat warna warni. Tepian jalan banyak pohon flamboyan yang sesekali menggugurkan bunganya yang beruari ke permukaan air sungai. Beberapa gerombol bunga kertas (bougenvile) juga menghiasi tepi jalan. Jalanan belum dipecah dua. Kendaraan masih agak jarang. Anak sekolah belum jamannya naik pit montor ke sekolah.
Aku selalu sampai di pertigaan Podo jam setengah tujuh. Dari sini saya melaju bersama teman-teman lain yang sudah bergerombol menantikan angkutan juga. Di dalam colt kami bercengkerm sekadarnya atau kalau pas ada ulangan hari itu ya buka buku tanpa peduli pada cerita teman sebelah. Tak ada cerita sinetron atau acara entertainment apa-apa. Tahun 1992 siaran TV belum bisa diakses secara massal oleh masyarakat. Konsumsi utama masih TVRI. (bersambung di "Gemex : Mesum yuuuuk...")

Jepretan My nephews


Ini dua foto jepretan kemanakan2 saya yang lucu-lucu (fotonya juga lucu, yg difoto kan orang lucu....ha...ha...ha...). Saya memang suka berfoto. Ada ribuan foto sejak saya bisa pegang kamera sendiri di tahun 1993 (kelas dua esema). Saya sering ngajak jalan2 teman esema (di SMEA Negeri Kota Pekalongan) ke daerah selatan. Sampai sekarang fottonya masih ada. Pernah ke Kebun Teh Jolotigo, ke Karanganyar (Long bridge), ke Pantai Slamaran, dan.....buanyak lagi. Komandannya memang saya. Fotonya masih pake klise roll, gak bisa edit atau cancel kalau ad gambar jelek yang kelewat keambil. Repot memang, tapi jaman itu, pegang kamera boleh dikata wah. budget untuk cuci cetknya kan mahal. Biasanya saya bawa ke Yen Pop Jalan Gajah Mada. Sering dapat souvenir berupa gelas sehabis cuci cetak.
Di lemari belakang, masih banyak klise roll jaman sekolah maupun jaman saya ngajar pertama (tahun 1999 saya sudah ngabdi jadi guru) yang belum dicetak. Entah seperti apa hasilnya, yang jelas masih tak simpan rapi, tak kasih judul file, dan tak taruh dalam penataan pake sistem kearsipan yang pernah saya pelajari di sekolah tercinta dulu, SMEA Negeri donk.

Senin, 21 September 2009

MAJT

Kawasan pelataran MAJT (pelataran yang dipayungi)
MAJT di-shoot dari menara
Semarang Pedurungan dari menara MAJT
Bulan kemarin saya selaku pengurus perkuliahan S1 UT Pokjar Sragi diajak teman-teman pengurus lainnya tuwi Pak Harsono (anak buah di perkuliahan) yang sedang terbaring di RS Karyadi. Ini kali ketiga saya ke Karyadi. Pak Har-nya barusan operasi kanker di kepala. Alhamdulillah, waktu kami ke sana beliaunya sudah agak baikan. lantas kami pun pamit. Stop....kami tidak pamit pulang, tapi pamit keluar rumah sakit. soalnya kami mau melanjutkan JJS ke seanteronya Semarang.


Tujuan utama tentu Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Inilah kawasan MAJT yang terpotret pakai Nokia N73 kamera 3,2 MP.


Jambore Agustus 2009


Aku sebagai sekretaris Jamran Sragi tahun 2009. Pertama kalinya jadi sekretaris di arena semacam ini. Di sinilah aku punya pintu lebar untuk melakukan pembaharuan sistem kerja. Moto dan semboyan jamran aku ciptakan sendiri. Sejak ini pula semua panitia aku beri lampiran SK pengukuhan berikut piagam kepanitiannya. Sejak ini pula rumusan kegiatan sie kegiatan aku tuangkan dalam suplemen tersendiri agar lebih terarah karena selama ni aku melihat bahwa "kekacauan" di arena jamran seringkali karena kurang profesionalnya orang-orang sie kegiatan merancang program. seringkali program dijalankan begitu waktu kegiatan sudah dimasuki.

Met Aidil Fitri


Jepretan dengan HDD Sony baru seharga 5 jt milik temanku kmaren


Masyarakat Hindu Bali punya tradisi menyucikan diri di kolam selayaknya kaum Hindu di India yang menyucikan diri di Sungai Gangga. Sebagai manusia yang berfalsafah pancasila, kita wajib menghormati kepercayaan agama lain dan tidak menghakimi keyakinan agama mereka dengan dasar pandangan agama kita.




Bekas Rumah Bah Zing Shong

Pintu Gerbang dijaga dua ekor singa
Tiang penyangga yang roman style
Si penjaga gerbang yang sering membuat anak menangis
bagian depan (portico) yang sudah remuk hancur oleh tangan jahil
Bangunan apakah ini ? Konon, menurut penuturan orang tua ku dulu (ayah angkat ku lahir sekitar tahun 1915-an), bangunan ini dulunya adalah kediaman De Capiten Van Tionghoa op Kedungwuni yang bernama Bah Zing Shong (entah nulisnya gimana, pokoknya begitulah lafalnya). Dia ini wong pualing sugih sak Kedungwuni. Tak sekaya Oe Tiong Ham yang punya istana di Semarang memang, tak juga sekaya Nitisemito di Kudus, namun pada masanya Bah Zing Shong memiliki pamor yang tak begitu saja terabaikan di seantero Kawedanan Kedungwuni (15 km selatan kota Pekalongan).
Dia menguasai banyak toko yang menjadi distribusi bagi kebutuhan masyarakat se kawedanan. Dia juga punya usaha distribusi minuman bersoda (orang kampung menyebutnya dengan istilah Lases). Dia dekat dengan kekuasaan. Rumahnya berhadap-hadapan dengan rumah Ndoro wedono Kedungwuni yang membawahi wilayah asistenan Wonopringgo dan Buaran. Diperkirakan bahwa Bah Zing Shong meninggal tahun 1930-an dan pemakamannya merupakan pemakaman termegah yang pernah disaksikan orang Kedungwuni. Mayatnya diangkut ke daerah yang sunyi sepi di sebelah selatan asistenan Doro. Sampai sekarang makamnya masih ada. Entah ada kerabatnya yang masih menengok atau tidak, yang jelas kata ayah angkatku yang pernah ngalami weruh Bah zing Shong, dia ini punya anak bernama Tuan Muda (gelar kehormatan mungkin). Tuan Muda ini sejak remaja sudah berada di Semarang (tahu kan kalau Semarang adalah basis Tionghoa sejak jaman bahaeula). Konon pula, jika Tuan Muda datang ke kediaman ayahnya ini, orang se kota kawedanan Kedungwuni penuh takjub memandangi satu-satunya otomobil yang berjalan pelan dengan klakson yang bisa didengar dari jarak ratusan meter sebelumnya. Mobilnya konon terbuka sehingga semua orang bisa melihat tampang si Tuan Muda.
Inilah sekelumit pecahan sejarah yang pernah aku dengar tentang bangunan itu. Dan perlu aku tambahkan pula bahwa pada masa pendudukan NICA, rumah kosong ini dijadikan markas Belanda sekaligus mengawasi gerak-gerik rumah kawedanan yang ada di seberangnya. (Bersambung...)