Senin, 28 September 2009

Tempat mengais sejumput pahala


Ini adalah potret Mushola Ashshodiq yang tengah direhab tahun kemarin (sekarang sampun purna). Mushola kampung saya, mushola tertua di Desa Karangdowo-Kedungwuni-Pekalongan. Mushola ini ada jauh sebelum ada masjid. Konon pembangunannya berbarengan dengan pembangunan Bendungan Kletak, Jembatan air Plengkung, dan jalur kereta api tebu (raam sepoor) yang melintas desa saya. Dengan merujuk itu semua, saya perkirakan pembangunannya terjadi tahun 1917-1920, mengingat memang di pasasti Bendungan Kletak tertera angka tahun demikian sebagai angka pembangunannya. Jadi, mushola ini sudah tua dan mengalami perombakan sekitar empat kali. Bangunan pertama berbentuk persegi panjang dengan kedudukan lantai di sangga oleh beberapa tiang yang bawahnya bisa dimasuki untuk jalan anak usia 5 tahunan (sekitar 1,5 m di atas permukaan tanah). Entah tahun berapa, mushola ini direhab jadi bangunan permanen dengan empat tanga masuk. Lantainya tak lagi disanga tiang. Lalu sekitar tahun 1990-an kembali direhab. Dan terakhir ini adalah tahun 2008. Antara tahun 1999-2003 saya aktif memimpin gerakan remaja mushola dalam berbagai bidang keagamaan. Motivasi yang mendasari adalah untuk menghidupkan suasana mushola, membantu pengembangan mushola, meramaikan syiar Islam, dan mengajak masuk mengenal secara bersama sistem berorganisasi bagi anak-anak di kampung. Foto ini diambil pakai kamera sony milik Edo yang dijepretkan oleh Mas Tomo. Baik Edo maupun Mas Tomo adalah teman-teman saya di kegiatan P2KP karena mereka adalah faskel-faskel desa saya.

Lebakbarang, area asri yg sering saya kunjungi bertirakatan



Lebakbarang itu sekitar 35 km dari rumah saya. Ke arah selatan, dari kota kecamatan Karanganyar mbablas ke selatan. Akan menemui desa Lolong dengan keindahan sungainya yang berair deras namun jernih, terus ke selatan hingga mencapai liuk-liuk jalan yang dinaungi pepohonan besar menjadikan liuk-liuk jalan tersebut terasa gelap meski baru jam empat sore.


Jalanan ke sana sudah mulus namun sempit. Kelok yang jumlahnya banyak mesti menjadikan kita ekstra waspada biar ndak nubruk angkutan atau otto lain yang kebetulan nongol mendadak di depan hidung. Perjalanan melewati kelok-kelok tersebut gak bakalan bikin lelah kita karena gemericik air baik dari sela-sela bebatuan maupun waterfall kecil-kecil akan berjajar di sepanjang jalan. Jangan heran pula kalau pepohonan di sini, baik dahan maupun rantingnya, acapkali ngelumut karena hawanya yang lembab. Entah berapa nisbi angkanya.


Kalau saya ke Lebakbarang, rasanya sudah plong kalau sudah masuk kota kecamatannya yang sunyi sepi namun deretan rumahnya berjajar rapi dengan aneka bebungaan yang menghiasi jambangan depan rumah. Di jantung kota ada ditemui Monumen Pemerintahan Darurat Pemerintah Kabupaten Pekalongan pada waktu Pekalongan kota diduduki oleh Belanda pada zaman clash (istilahnya jaman Recomba). Monumen itu berbentuk tugu, berdiri tegak seakan-akan menjadi pancang tiang ujung pandangan dari seanteronya Lebakbarang yang dikepung bebukitan.


Dari kota kecamatan yang jarang ditemui warung makan ini, biasanya saya mbablas ke timur, berkelok-kelok sampai bokong rasanya pegal di atas jok, menuju Desa Timbangsari. Di sinilah temank saya semasa kuliah di IKIP PGRI dulu yang bernama Lugiarso bertempat tinggal. Lugiarso ini orangnya baik sekali, pendiam, dan tidak banyak tuntutan. Meski begitu dia juga tidak gaptek. Ayahnya seorang mantan lurah desa tersebut yang tekun bertani (termasuk panili yang jaman Presiden Habibi pernah menembus angka 150 ribu perkilo !). Tidak pernah saya ke rumah dia langsung pulang. Perjalanannya yang jauh mengharuskan saya beristirahat dulu. Malam di Timbangsari amatlah dingin dan super sepi. depan rumah Lugi (pangilan untuk Lugiarso) merupakan hutan pinus yang lebat. Rumah dia sendiri ada di bagian paling atas dibanding rumah warga lainnya. Rumah di pegunungan kan biasanya berundak-undak selayaknya sistem terassiring sawah.

Sering saya bawa rombongan untuk menginap di rumah dia. Sekadar memperkenalkan potensi daerah Pekalongan dan mengagumi alam indah nan eksotik. Pernah pula saya berdelapan melakukan hiking ke Curug Cinde (Air terjun pelangi). Meski jaraknya 4-5 Km namun karena medannya berjalan setapak pada kemiringan 45 derajat (ditambah pula suasananya basah sekali), maka perjalanan demikian menuntut kewaspadaan yang ekstra. Tidak awas sedikit saja bisa tergelincir masuk ke jejurangan yang dipenuhi tanaman liar. Bagaimana pun juga akhirnya saya berdelapan (Lugi sebagai pemandunya) akhirnya bisa sampai di sana. Oh ya, Curug Cinde ini msih jarang di datangi orang. (Bersambung)


Syawalan di Widuri Water Park
















Jumat, 25 September 2009

Foto-Fot terbaruku







Ngantar bekas murid ke Kaliboja (2007)





Ini adalah foto perjalanan saya bareng bekas murid-murid saya ke daerah Kaliboja. Kami berangkat pakai mobil Esspaz milik keponaan saya, yang nyetir Mas Afrid. Berangkatnya menjelang maghrib dan sampai di sana sudah jam tujuh lebih. Kaliboja ada di 40 km jauhnya dari rumah saya. Ikut kecamatan Paninggaran dan berbatasan langsung dengan Kalibening yang sudah masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara. Ada perlu apa saya ke Kaliboja ?
Saya ajak anak-anak saya karena saya ingin memperkenalkan (ini bahasa saya lho) alam Pekalongan selatan yang selalu hijau adem enak untuk dinikmati. Itu pertama. Yang kedua, saya ke sana bersilaturahim ke rumah Mas Kirno Pranoto. Dia ini teman saya jaman KMD di Kajen. KMD ? itu lho, Kursus Mahir Dasar. Mas Kirno Pranoto ini guru di SDN 01 Paninggaran. Nah, rumah Mas Kirno inilah yang saya jadikan tempat transit di malam itu, transit plus bermalam untuk 12 orang.
Malam di situ saya boleh dikatakan menggigil karena hawanya yang dingin. Kaliboja berada di puncak yang boleh dikata tinggi untuk daerah Pekalongan. Saya tidur di kamar sendirian berselimutkan selimut tebal. Anak-anak tidur di ruang tamu beralas karpet.
Pagi harinya saya dan anak-anak diajak jalan-jalan Mas Kirno ke perkebunan teh yang ia usahakan. Orang-orang di situ biasanya menguasahakan perkebunan teh sendiri dan hasil petikan pucuk-pucuknya dijual ke pabrik teh Pagilaran yang ada di Batang. Di Paninggaran juga ada pabrik teh Pagilaran tapi semacam cabang, dan hanya memproses daun teh menjadi bakal teh. Jadi tidak sampai finishing keluar kemasanan teh. Saya juga melihat-lihat kolam ikan yang banyak diusahakan masyarakat setempat. Kebanyakan mereka membudidayakan ikan mas, ikan nila, dan mujair. Saya juga diajak menikmati aliran sungai yang jernih airnya dan ada pancurannya. Tak lupa juga, kami (saya dan anak-anak) berfoto di bawah lambaian bunga Edelwais. Konon, inilah lambang cinta abadi yang sesungguhnya karena bunga ini tiada pernah layu.


Hari itu juga kami jalan-jalan ke pancuran air hangat yang ada di sebelah selatan kota kecil Kalibening. Kami nikmati alam pemandangannya yang eksotik, dan kami cuma duduk-duduk di tepian kalinya, enggan mandi di pancuranya karena kebetulan banyak warga setempat (ibu-ibu dan mbak-mbak pakai kemben) sedang mandi dan cuci baju. Weeeeeeeekkkkkk…… akhirnya kami ke kedai bakso di Kalibening dan segera kembali ke markas untuk kemudian pulang.
Kaliboja sudah saya kenal lewat berita TVRI waktu saya esde dulu karena kepala desanya (Bu Eriyah) meraih penghargaan kalpataru dari Presiden Soeharto (alm) dan berkesempatan diundang oleh UNESCO ke forum PBB tentang lingkungan. Waktu saya pingin bertandang ke rumah Bu Eriyah, Mas Kirno menginformasikan kalau beliau sedang menunaikan ibadah haji dan belum pulang. Beliau ini, masih kata Mas Kirno, dua kali periode menjabat kepala desa karena keberhasilannya itu. Sehabis beliau turun jabatan, kedudukan kepala desa digantikan oleh suaminya yang hanya menjabat satu periode. Setelah suaminya turun kedudukan kepala desa dipegang oleh kemenakan mantan kades tersebut. Ini yang namanya dinasti kades. Namun, keindahan dan ketertiban desa ini sewaktu meraih pennghargaan dari Presiden Soeharto maupun UNESCO, agaknya kini tak berbekas lagi. Jalanan desa tak terawat lagi dan di sana sini saya melihat kesemrawutan tata kelola lingkungan, tak seperti yang saya lihat waktu penayangan di TVRI sekitar 24 tahun lalu tepatnya tahun 1985-an !

Rabu, 23 September 2009

Di depan rumah dinas Bupati Pekalongan

Ini sebagian murid-murid saya di SDN 01 Klunjukan. Mereka ramai-ramai naik truk ke arena Kajen Expo 2009. Ini ceritanya mereka beraksi di halaman rumah dinas Bupati Pekalongan. Ada Tiyo, Dadang, Bowo, Bambang, Widodo, Yanto, dan entah siapa lagi. Saya paling senang kalau bisa melihat murid-murid saya tersenyum tanpa bebn. Anak kecil memang harus bahagia, harus free from depresi, nggak boleh dipaksa-paksa, harus merdeka agar menikmati masa bermainnya. Saya selalu bahagia dengan melihat senyum mereka meskipun kadang mereka menjengkelkan. Tersenyumlah anak-anak ku.........!


Inilah kawasan Lapangan Nggemex di Kedungwuni Pekalongan. Gambar ini saya ambil waktu Pilpres Juli kemarin. Sepi dan lengang. Kontras sekli jika malam minggu, malam jum'at, minggu pagi atau jumat pagi. Pada malam jumat dan malam minggu, beratus pasangan co-ce (kadang jg ada yg pasangan gay, bahkan pernah ada bencong kaleng rombeng ikut meramaikan) datang ke sini sekadar melepas rindu berpeluk dan bercium ria. Tak tertutup kemungkinan melerpas syahwat yang membuncah. Kadang saya lewat, entah dari acara apa, di daerah ini jam sebels atau dua belasan malam. Saya kok risih sekali melihatnya. Pasangan abg-abg itu kok nekat bepngku-pangkunan, berpeluk ria secara atraktif bahkan pernah beberap kali memergoki mereka sedang in action. Padahal, di barat lapangan ada masjid Al Amin (Bangunan YABMP). Anak sekarang memang nekat banget. Saya belum lama melepas masa remaja, tapi keremajaan orang-orang seangkatan saya belum parah sebegitunya. Yang sekarang heboh buangetz, atraktif, bahkan terkesan ada kepuasan kalau atraksinya do tonton atau dipergoki orang lain.
Dulu waktu saya masih esde (dekade 80-an), kawasan ini masih perkebunan tebu. Baru tahun 1985-an are ini dibuka untuk pengembangan infrastruktur publik. Ada SMPN 02 Kedungwuni, ada SDN 08 Kedungwuni, SMAN Kedungwuni, STMN Pekalongan, Masjid Al Amin, dan Kantor Perpusda (kini kantor kelurahan Kdw barat). Area ini, pada jaman saya esempe, masih runggut dengan rerumputan. Masih panas karena pepohonan belum "jadi".
Tahun 1999 ketika saya mulai ngajar di MI 02 Karangdowo (sebgai guru pengabdian di usia 23 tahu), seringkali saya ajak anak-anak kelas enam main kasti di lapangan Nggemex ini. Kiri kanan lapangan masih pa adanya. Foto-foto jaman itu masih ada di lemari. Itu tahun 1999, belum lagi kalau saya memflashback ke tahun 1992-1995 waktu saya mondar mandir dari rumah ke sekolah melewati kawasan itu. Tahun 1992, hampir dari Juli 1992-Juli 1993 tiap pagi saya berjalan kaki menyusuri kawasan yang dinamakan Ngemex-Bebekan. Saya berjalan dari rumah ke Podo sekitar 2 kilo, dari Podo saya menunggu colt angkot yg menghilir ke arah sekolah saya di SMEA Negeri Jalan Perintis Kemerdekaan. Apa kenangan saya waktu itu ? adem, bersih, natural, dan damai.
Pagi jam 06.00 saya melewati kawasan Nggemex pakai seragam abu-abu putih. Tas ransel tersandang di belakang. Sepatu kets warna hitam, rambut rapi, dan jerawat masih mengintip-intip cari tempat mangkal. jalan kaki saya terasa tidak bert meski sendirian sepanjang dua kilo. Di areal Nggemex masih tersisa embun pagi di rerumputan dan sebagian batang-batang tebu yang belum tergusur. Air sungai menghilir jernih, sesekali ketemu rombongan soang (angsa) putih bercengkerama mengajari anak-anaknya menyelam. Kanan kiri sungai penuh tanaman air yang menjuntai. Terbanyak lompong gagang merh dan kangkung rambat. Jernih airnya. Sepanjang jalan Nggemex-Bebekan sampai Podo ada trotoar yang dipagari lekuk-lekuk besi cor dicat warna warni. Tepian jalan banyak pohon flamboyan yang sesekali menggugurkan bunganya yang beruari ke permukaan air sungai. Beberapa gerombol bunga kertas (bougenvile) juga menghiasi tepi jalan. Jalanan belum dipecah dua. Kendaraan masih agak jarang. Anak sekolah belum jamannya naik pit montor ke sekolah.
Aku selalu sampai di pertigaan Podo jam setengah tujuh. Dari sini saya melaju bersama teman-teman lain yang sudah bergerombol menantikan angkutan juga. Di dalam colt kami bercengkerm sekadarnya atau kalau pas ada ulangan hari itu ya buka buku tanpa peduli pada cerita teman sebelah. Tak ada cerita sinetron atau acara entertainment apa-apa. Tahun 1992 siaran TV belum bisa diakses secara massal oleh masyarakat. Konsumsi utama masih TVRI. (bersambung di "Gemex : Mesum yuuuuk...")

Jepretan My nephews


Ini dua foto jepretan kemanakan2 saya yang lucu-lucu (fotonya juga lucu, yg difoto kan orang lucu....ha...ha...ha...). Saya memang suka berfoto. Ada ribuan foto sejak saya bisa pegang kamera sendiri di tahun 1993 (kelas dua esema). Saya sering ngajak jalan2 teman esema (di SMEA Negeri Kota Pekalongan) ke daerah selatan. Sampai sekarang fottonya masih ada. Pernah ke Kebun Teh Jolotigo, ke Karanganyar (Long bridge), ke Pantai Slamaran, dan.....buanyak lagi. Komandannya memang saya. Fotonya masih pake klise roll, gak bisa edit atau cancel kalau ad gambar jelek yang kelewat keambil. Repot memang, tapi jaman itu, pegang kamera boleh dikata wah. budget untuk cuci cetknya kan mahal. Biasanya saya bawa ke Yen Pop Jalan Gajah Mada. Sering dapat souvenir berupa gelas sehabis cuci cetak.
Di lemari belakang, masih banyak klise roll jaman sekolah maupun jaman saya ngajar pertama (tahun 1999 saya sudah ngabdi jadi guru) yang belum dicetak. Entah seperti apa hasilnya, yang jelas masih tak simpan rapi, tak kasih judul file, dan tak taruh dalam penataan pake sistem kearsipan yang pernah saya pelajari di sekolah tercinta dulu, SMEA Negeri donk.

Senin, 21 September 2009

MAJT

Kawasan pelataran MAJT (pelataran yang dipayungi)
MAJT di-shoot dari menara
Semarang Pedurungan dari menara MAJT
Bulan kemarin saya selaku pengurus perkuliahan S1 UT Pokjar Sragi diajak teman-teman pengurus lainnya tuwi Pak Harsono (anak buah di perkuliahan) yang sedang terbaring di RS Karyadi. Ini kali ketiga saya ke Karyadi. Pak Har-nya barusan operasi kanker di kepala. Alhamdulillah, waktu kami ke sana beliaunya sudah agak baikan. lantas kami pun pamit. Stop....kami tidak pamit pulang, tapi pamit keluar rumah sakit. soalnya kami mau melanjutkan JJS ke seanteronya Semarang.


Tujuan utama tentu Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Inilah kawasan MAJT yang terpotret pakai Nokia N73 kamera 3,2 MP.


Jambore Agustus 2009


Aku sebagai sekretaris Jamran Sragi tahun 2009. Pertama kalinya jadi sekretaris di arena semacam ini. Di sinilah aku punya pintu lebar untuk melakukan pembaharuan sistem kerja. Moto dan semboyan jamran aku ciptakan sendiri. Sejak ini pula semua panitia aku beri lampiran SK pengukuhan berikut piagam kepanitiannya. Sejak ini pula rumusan kegiatan sie kegiatan aku tuangkan dalam suplemen tersendiri agar lebih terarah karena selama ni aku melihat bahwa "kekacauan" di arena jamran seringkali karena kurang profesionalnya orang-orang sie kegiatan merancang program. seringkali program dijalankan begitu waktu kegiatan sudah dimasuki.

Met Aidil Fitri


Jepretan dengan HDD Sony baru seharga 5 jt milik temanku kmaren


Masyarakat Hindu Bali punya tradisi menyucikan diri di kolam selayaknya kaum Hindu di India yang menyucikan diri di Sungai Gangga. Sebagai manusia yang berfalsafah pancasila, kita wajib menghormati kepercayaan agama lain dan tidak menghakimi keyakinan agama mereka dengan dasar pandangan agama kita.




Bekas Rumah Bah Zing Shong

Pintu Gerbang dijaga dua ekor singa
Tiang penyangga yang roman style
Si penjaga gerbang yang sering membuat anak menangis
bagian depan (portico) yang sudah remuk hancur oleh tangan jahil
Bangunan apakah ini ? Konon, menurut penuturan orang tua ku dulu (ayah angkat ku lahir sekitar tahun 1915-an), bangunan ini dulunya adalah kediaman De Capiten Van Tionghoa op Kedungwuni yang bernama Bah Zing Shong (entah nulisnya gimana, pokoknya begitulah lafalnya). Dia ini wong pualing sugih sak Kedungwuni. Tak sekaya Oe Tiong Ham yang punya istana di Semarang memang, tak juga sekaya Nitisemito di Kudus, namun pada masanya Bah Zing Shong memiliki pamor yang tak begitu saja terabaikan di seantero Kawedanan Kedungwuni (15 km selatan kota Pekalongan).
Dia menguasai banyak toko yang menjadi distribusi bagi kebutuhan masyarakat se kawedanan. Dia juga punya usaha distribusi minuman bersoda (orang kampung menyebutnya dengan istilah Lases). Dia dekat dengan kekuasaan. Rumahnya berhadap-hadapan dengan rumah Ndoro wedono Kedungwuni yang membawahi wilayah asistenan Wonopringgo dan Buaran. Diperkirakan bahwa Bah Zing Shong meninggal tahun 1930-an dan pemakamannya merupakan pemakaman termegah yang pernah disaksikan orang Kedungwuni. Mayatnya diangkut ke daerah yang sunyi sepi di sebelah selatan asistenan Doro. Sampai sekarang makamnya masih ada. Entah ada kerabatnya yang masih menengok atau tidak, yang jelas kata ayah angkatku yang pernah ngalami weruh Bah zing Shong, dia ini punya anak bernama Tuan Muda (gelar kehormatan mungkin). Tuan Muda ini sejak remaja sudah berada di Semarang (tahu kan kalau Semarang adalah basis Tionghoa sejak jaman bahaeula). Konon pula, jika Tuan Muda datang ke kediaman ayahnya ini, orang se kota kawedanan Kedungwuni penuh takjub memandangi satu-satunya otomobil yang berjalan pelan dengan klakson yang bisa didengar dari jarak ratusan meter sebelumnya. Mobilnya konon terbuka sehingga semua orang bisa melihat tampang si Tuan Muda.
Inilah sekelumit pecahan sejarah yang pernah aku dengar tentang bangunan itu. Dan perlu aku tambahkan pula bahwa pada masa pendudukan NICA, rumah kosong ini dijadikan markas Belanda sekaligus mengawasi gerak-gerik rumah kawedanan yang ada di seberangnya. (Bersambung...)












Tempat favorit Ku, Bandar swimmingpool


Kolam renang Bandar adalah tempat favorit saya untuk renang. Biar letaknya jauh dari rumah (hampir 35 km) namun saya paling suka ke sini. Sejak jaman saya jadi guru pengabdian di desa saya, kolam renang ini jadi tujuan jalan-jalan anak murid saya. Biasanya berombongan dua sampai tiga mobil. Biasanya pula menjadi tempat persinggahan mereka setelah saya ajak mereka menziarahi makam para wali (auliya’) di Wonobodro yang memang tak jauh dari Bandar (sekitar 8 km).
Kolam renang Bandar memiliki air yang segar karena berasal dari mata air yang dinaungi pepohonan besar yang usianya lebih dari satu abadan. Mata air yang jernih itu konon dulunya sudah dipakai oleh orang-orang Belanda. Orang-orang tersebut biasanya dari kalangan pengelola perkebunan teh di Pagilaran dan penguasa perkebunan cengkeh di sekitar Batang selatan. Air kolam yang tidak ekstrim ini memang cocok untuk saya dibanding air kolam Linggoasri di Kajen yang menurut ukuran saya agak ekstrim karena bercampur dengan hawa lereng gunung yg menggigil.
Kolam renang Bandar berada di lintasan Bandar-Blado, mudah dijangkau dengan segala angkutan (asal bukan plane atau train saja), dan HTM-nya suangat murah. Ramai sekali pada hari minggu dan jum’at. Air kolamnya biasa dikuras pada hari rabu. Areanya sangat asri penuh pepohonan yang menjulang tingi besar dan tanaman hiasnya pun banyak. Di sisi utara dari kolam, kita bisa melihat hamparan (bukan hamparan tapi undakan) sawah penduduk. Sawah itu sedikit banyak menerima air buangan kolam yang dimanfaatkan untuk pengairanya.
Masalah jajan atau pasugatan tidak perlu khawatir. Di dalam area ini banyak penjual makanan. Sayangnya, justru kehadiran mereka ini cenderung merusak keindahan area. Pernah mereka ini ditampung di atas (dekat parkiran) dan sudah dibuatkan kios-kios permanen tapi mereka justru mendekat ke arah kolam, turun ke bagian bawah, dan mendirikan tenda-tenda darurat untuk menaungi para penjajan. Ini yang saya katakan merusak pemandangan. Sampah berserakan di sekitar pusat rekreasi dan warna-warna penutup kedai yang aneka macam plus lusuh menghias di depan mata. Mestinya pengelolanya bisa tegas agar ‘tumor’ ini tidak mengakar dan menjadi ‘ganas’ di masa nanti.
Oh ya, biasanya kalau saya jalan-jalan sama teman atau sedang pingin sendirian ke daerah Bandar, saya selalu mampir makan di warung makan Binyo. Ini warkan milik orang Tionghoa. Mungkin tulisan aslinya Bi Nio lantas diselip pakai lidah jawa jadi Binyo. Masakannya komplit, harganya pun murah. Baru setahunan ini pindah tempat di sekitar Mapolsek Bandar. Dulunya mangkal di pertigaan depan Telkom. Pada waktu di sini, ramainya bukan main. Banyak orang-orang Tionghoa yang kebetulan naar boven selalu menghampiri Binyo. Juga pejabat-pejabat dengan mobil plat merahnya, kalau kebetulan jalan-jalan ke Bandar atau agrowisata Pagilaran, pasti mampir ke sini. Anak-anak abg yang habis kugeruuuuuk….huurketekuk di lereng perkebunan teh juga sering mampir ke sini. Jadi, ini warung tempat aneka macam corak manusia untuk berkumpul termasuk saya. Pelayanannya ramah dan cekatan sehingga ndak perlu menunggu berlama-lama untuk menikmati sajian.
Entah sudah berapa kali saya menyambangi kolam renang ini. Sejak tahun 1999 (saya masuk pertama jadi guru pengabdian pertama) saya sudah ‘mewajibkan’ tempat ini jadi tujuan jalan-jalan anak murid saya. Kalau ke sini biasanya dirangkai ke Wonobodro. Setahun bisa dua kalinan ke sini bareng anak-anak itu. Belum lagi yang sendirian sama teman atau sama bekas-bekas murid yang sudah besar, pokoknya sering. Pernah juga dengan rombongan ALITAN (teman-teman guru di Batang yang kuliah di UNNES pokjar SMP 1 Batang) dan masih banyak lagi. Saya jadi hafal perubahan yang terjadi di kota kecil Bandar, dari yang tradisionil (sampai tahun 2002-nan masih merupakan kota ndeso) hingga jadi setengah modern (mulai 2003-nan).

Kemenakanku...Generasi keluarga Kami

Khofifah, Zaky, Wahyu.....bintang-bintang keluarga kami
My Hero, Zaky Naufal (anak mendiang kemenakanku yg paling kusayangi)
Muh. Zuhdi (anak adekku), aku yg memberinya nama agar menjadi orang yang zuhud di dunia
Wahyu, kelas I di SDSN Jatipulo 01 Pagi Jakarta Barat. Pinter sekali.
Maudy, nama indah seindah gerai rambut dan senyumnya.


Wahyu-Ku. Smart, musikal, tp sensitif
Zaky-Ku, pelita kehidupanku
Si Gendut Ilham, anak dari kakakku. Dia smart sekali.


Kemenakanku.....jumlahnya buanyak sekali. Kami keluarga besar. Hanya pas lebaranlah mereka ngumpul di rumah pokok. datang bertandang mengunjungi ibunda-ku yg mewarisi rumah pusaka yang se-hari-hari aku tempati sendirian sejak SMA dulu.
Aku yang pernah dibesarkan dalam dua keluarga (keluarga ayah-ibunda kandung-ku dan ayah-ibunda angkat-ku) maka jumlah kemenakanku tiada tara banyaknya. Belum lagi jika dihitung dari cucu-cucunya uwak-uwak dan paman-paman kami, maka......hampir satu halaman penuh kalau di suruh berjajar. Tapi kami bangga. Kami dilimpahi kondisi kehidupan yang berkecukupan. Bahkan banyak kerabat keluarga kami yang dilimpahi rezeki secara berlebih sehingga kami memiliki kemenakan-kemenakan yang ceria tanpa pernah menanggung hidup susah.
Banyak kemenakan kami yang sudah besar dan mapan dalam pekerjaan. kadang, mereka ngumpul di rumah yang saya tempati untuk sekadar ngobrol sambil makan bareng. Mereka bergiliran mentraktir. Kami semua ngobrol santai dari segala masalah. ah, inilah indahnya keluarga besar. Dan, foto di atas adalah sedikiiiiiiiiit dari jumlah kemenakan ku.