Senin, 28 September 2009

Lebakbarang, area asri yg sering saya kunjungi bertirakatan



Lebakbarang itu sekitar 35 km dari rumah saya. Ke arah selatan, dari kota kecamatan Karanganyar mbablas ke selatan. Akan menemui desa Lolong dengan keindahan sungainya yang berair deras namun jernih, terus ke selatan hingga mencapai liuk-liuk jalan yang dinaungi pepohonan besar menjadikan liuk-liuk jalan tersebut terasa gelap meski baru jam empat sore.


Jalanan ke sana sudah mulus namun sempit. Kelok yang jumlahnya banyak mesti menjadikan kita ekstra waspada biar ndak nubruk angkutan atau otto lain yang kebetulan nongol mendadak di depan hidung. Perjalanan melewati kelok-kelok tersebut gak bakalan bikin lelah kita karena gemericik air baik dari sela-sela bebatuan maupun waterfall kecil-kecil akan berjajar di sepanjang jalan. Jangan heran pula kalau pepohonan di sini, baik dahan maupun rantingnya, acapkali ngelumut karena hawanya yang lembab. Entah berapa nisbi angkanya.


Kalau saya ke Lebakbarang, rasanya sudah plong kalau sudah masuk kota kecamatannya yang sunyi sepi namun deretan rumahnya berjajar rapi dengan aneka bebungaan yang menghiasi jambangan depan rumah. Di jantung kota ada ditemui Monumen Pemerintahan Darurat Pemerintah Kabupaten Pekalongan pada waktu Pekalongan kota diduduki oleh Belanda pada zaman clash (istilahnya jaman Recomba). Monumen itu berbentuk tugu, berdiri tegak seakan-akan menjadi pancang tiang ujung pandangan dari seanteronya Lebakbarang yang dikepung bebukitan.


Dari kota kecamatan yang jarang ditemui warung makan ini, biasanya saya mbablas ke timur, berkelok-kelok sampai bokong rasanya pegal di atas jok, menuju Desa Timbangsari. Di sinilah temank saya semasa kuliah di IKIP PGRI dulu yang bernama Lugiarso bertempat tinggal. Lugiarso ini orangnya baik sekali, pendiam, dan tidak banyak tuntutan. Meski begitu dia juga tidak gaptek. Ayahnya seorang mantan lurah desa tersebut yang tekun bertani (termasuk panili yang jaman Presiden Habibi pernah menembus angka 150 ribu perkilo !). Tidak pernah saya ke rumah dia langsung pulang. Perjalanannya yang jauh mengharuskan saya beristirahat dulu. Malam di Timbangsari amatlah dingin dan super sepi. depan rumah Lugi (pangilan untuk Lugiarso) merupakan hutan pinus yang lebat. Rumah dia sendiri ada di bagian paling atas dibanding rumah warga lainnya. Rumah di pegunungan kan biasanya berundak-undak selayaknya sistem terassiring sawah.

Sering saya bawa rombongan untuk menginap di rumah dia. Sekadar memperkenalkan potensi daerah Pekalongan dan mengagumi alam indah nan eksotik. Pernah pula saya berdelapan melakukan hiking ke Curug Cinde (Air terjun pelangi). Meski jaraknya 4-5 Km namun karena medannya berjalan setapak pada kemiringan 45 derajat (ditambah pula suasananya basah sekali), maka perjalanan demikian menuntut kewaspadaan yang ekstra. Tidak awas sedikit saja bisa tergelincir masuk ke jejurangan yang dipenuhi tanaman liar. Bagaimana pun juga akhirnya saya berdelapan (Lugi sebagai pemandunya) akhirnya bisa sampai di sana. Oh ya, Curug Cinde ini msih jarang di datangi orang. (Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar